Arumi membuka mata. Langit-langit kayu lapuk berderak diterpa angin, dan bau anyir tanah basah memenuhi paru-parunya. Ia terbaring di atas tikar anyaman di sebuah gubuk reot, sementara Denny duduk di sudut dengan wajah pucat.
“Loh, saya… di mana?” desisnya, kepala masih berdenyut nyeri.
“Rumah saya,” jawab Denny singkat. “Saya bawa Mbak kabur dari pabrik. Itu tadi… apa, sih?”
Sebelum Arumi sempat menjawab, sorot mata Denny tiba-tiba gelap. “Mbak harus pulang ke Jakarta. Ini bukan main-main. Kakek saya dulu tewas di pabrik itu—badannya ditemukan tergantung di menara, lidahnya hilang.”
Tangan Arumi gemetar menggapai tas penelitiannya. Di dalamnya, dokumen foto kakeknya terselip kertas kuning beraksara Belanda yang belum sempat ia terjemahkan. “Saya tidak bisa mundur. Ada sesuatu yang *memanggil* saya ke sini,” bisiknya.
Malam itu, Arumi menyelinap kembali ke pabrik sendirian. Senternya menyapu lorong gelap menuju gudang tua. Di dinding, ia menemukan lukisan mural usang: para pekerja pribumi dirantai, dikelilingi serdadu Belanda dengan topeng aneh berwujud *setan*. Di tengah mural, seorang perempuan berambut panjang terikat di altar batu—wajahnya persis seperti hantu dalam mimpinya.