Karat Rangka Karat Nyawa

Neo Hernando
Chapter #1

Bab 1

Layar di belahan timur sudah gelap, angin gunung pun menggiring awan kelabu ke seberang. Selimut tebal di hari rembang petang membenamkan desa di kaki gunung dalam kelengangan. Pintu dan jendela pada ditutup rapat. Ayam-ayam masuk kandang dan menunggu datangnya terang. Tak lama, hujan mengguyur daratan, mengguyur lengang desa itu. Seseorang bertudung pelepah pisang bergegas pulang. Jalannya stabil di pematang sawah yang lembek dan licin. Di tangan kirinya, hasil tangkapan dari sungai ditenteng dengan gembira. Ember berayun-ayun. Kehadirannya lantas menghilang di balik barisan pohon kelapa sawit. Hiruk pikuk manusia usai, beristirahat untuk sementara waktu.

Lampu teplok berpijar halus. Kadang api mungil menggigil karena dingin, dan ketika itulah temaram rumah Muhsan makin gulita. Semprong lampu teploknya sudah lama pecah akibat paku yang menancap di dinding tiba-tiba terjatuh. Nasib baik tampungan minyak hanya retak dan tidak sampai bocor. Di gantungan logamnya foto perempuan yang tidak jelas silsilahnya—barangkali trik pemasaran agar banyak pembeli—sudah hitam legam oleh jelaga. Pun panas oleh api. Kalau sudah begini, Muhsan akan mengambil kain gombal agar tangannya tidak melepuh. Lampu teplok dipindah ke atas dipan.

Gumpalan asap dan wangi nasi menyeruduk ke udara ketika kekeb dibuka. Bulir air panas berjatuhan, membasahi jelaga di sekitar tungku. Wayan segera mengambil piring, bunyi gemuruh dari perut bocah lanang itu mendadak berhenti. Namun kembali berbunyi ketika minyak goreng berloncatan. Memandangi kepulan asap harum di piringnya, bocah itu mulai usil. Tangan menggeser cobek, meraih tempe sisa sarapan, dan nasi pun mulai dithithil. Bocah itu muluk, sedang ayahnya berhadapan dengan detas minyak goreng lawas. Ikan goreng diangkat, seketika bau rempah mengudara dan mulut bocah itu berhenti mengunyah.

Kubangan cokelat di wajan mencipta riak kecil tatkala minyak berjatuhan dari saringan. Remah-remah ikan mengendap di dasar, ada pula butir-butir kacang kedelai gosong. Penggorengan itu bak kolam berlumpur yang penuh sisa makanan. Setelah menaruh ikan di atas piring, Muhsan menyerok endapan itu lalu membuangnya ke tungku. Ia berbalik dan didapatinya senyum merekah di wajah.

“Ini.”

Wayan menarik dagunya ke atas, terheran dan ragu. “Tapi kan punya Ayah.”

“Ambil saja. Makan yang banyak biar kamu cepat besar.”

“Enggak mau. Orang besar harus kerja, enak jadi kecil bisa main terus.”

“Jadi kecil harus sekolah. Hayo, pilih mana? He-he.”

Suap tangan Wayan terhenti di udara, nasi jatuh perlahan. Sekali lagi mendongak untuk menatap wajah ayahnya yang samar oleh remang lampu teplok. “Pokoknya enak jadi kecil!”

“Oalah, le, main terus pikiranmu. Tapi ini harus dimakan supaya sehat, bisa puas main.”

“Enggak mau. Ayah yang makan supaya sehat, nanti bisa kerja sepuasnya. Hi-hi-hi.”

Seolah membelah sambaran geledek dan keroncong perut, perkataan sederhana bocah itu menorehkan kerut di wajah Muhsan. “Dengar itu, perutmu dari tadi bunyi terus. Ayo tambah lagi. Ayah enggak punya uang kalau kamu sakit.”

“Enggak, bukan perut Wayan yang bunyi, itu perut Ayah!”

Bibir Muhsan melengkung. Gemas. “Ya sudah dibagi dua, bagaimana?”

Membau aroma wangi nasi, memandangi ikan goreng, dan merasakan enaknya sambal ulek, Wayan menelan ludah. Bolak-balik melihat piringnya yang hampir kosong dan piring seberang yang masih penuh. Walau bocah itu yakin suara gemuruh lapar tadi bukan miliknya. Namun perut mendadak berbisik seolah merayu-rayu. Ia menelan ludah lagi. “Bagi dua,” katanya.

 “Mbok ya bilang dari tadi. Nah, ayo cepat habiskan.”

Udara dingin yang menyelinap dari celah gedek, membelai kulit sawo matang pria dewasa itu, menarik rambutnya, dan menggigilkannya. Pun kulit di perut terkokol-kokol. Bukan hanya oleh dingin, tetapi juga minta tambah isi. Ia kurus, ia kurang makan. Namun mengingat Wayan makan dengan lahap, sekiranya mengisi kekurangan di perut. Muhsan kenyang. Sangat kenyang hingga tidurnya menyembul kebahagiaan.

Di tengah kabut yang mengelumuni Desa Baruh, dua orang perempuan menyusur pinggir jalan. Tangan yang menenteng tas rajutan penuh sayur dan lauk-pauk. Dari jauh terbetik sayup kokok ayam jantan. Seekor burung pipit berkicau dan mengepak cepat sayapnya. Tidak jadi bertengger di pohon jeruk keprok sebab merasa waswas oleh kehadiran manusia. Ia terbang tinggi lalu hilang dimakan kabut. Kambing mengembik dan kerbau melenguh, disertai guntak injakan kaki mereka di kandang bambu. Jalan berbatu dilangkahi puluhan unggas. Megal-megol jalannya, mengikuti tunjuk arah batang bambu si penggembala. Pagi Desa Baruh diriuhkan semesta.

Sebagaimana kebiasaan Muhsan saban pagi, uap panas membubung dari gelas kaca. Lelaki itu menyeduh kopi lalu ongkang-ongkang di lincak bawah pohon mangga. Sembari menikmati embun basah dan bising ayam betina yang habis bertelur, Muhsan menuang kopi di lepek dan sesegera diseruput. Kopi lelaki itu pahit. Ya, pahit, tanpa gula. Bukan karena tidak suka manis ataupun tidak punya uang untuk membeli gula, melainkan bagi Muhsan pahitnya kopi menggambarkan kehidupan yang penuh lika-liku. Malahan bukan pahit yang dirasakan di lidah, tetapi rasa nikmat: bauran asam dan pahit. Hidup, yang pada dasarnya pahit akan terasa mantap manakala disikapi dengan berbeda. Muhsan paham betul hal ini. Semua adalah milik Pangeran Kang Agung, mengambil atau memberi adalah hak-Nya. Jadi, sebagai kawula, Muhsan hanya bisa dan hanya boleh nrima ing pandum.

Kopi tinggal setengah dan kegiatan meniup-niup kopi di lepek sudah usai. Kopi pahit menghangat, bisa langsung ditenggak habis. Namun Muhsan membiarkan dingin pagi hari menyentuh kopinya. Ia masuk ke dalam, ke dapur tepatnya. Di sana, tungku yang membara, dandang yang berkepul-kepul, dan seorang bocah baru bangun menantikan nasi. Lauk seadanya, tempe, tahu, dan telur sudah siap. Pun dengan kecap serta kerupuk. Muhsan membuka kekeb lalu menutupnya lagi. Si bocah terkecap-kecap. Entah apa yang dikecapnya, barangkali air liur sendiri. Jongkok di atas dipan, menggosok-gosok mata, lalu terkantuk-kantuk menunggu sarapan.

Di tengah ribut kotek ayam betina, kokok si jago tak henti-hentinya mengumandangkan bahwa hari sudah pagi. Entahlah, tetapi orang-orang dewasa mendadak mengoceh dan mengalahkan ribut unggas. Ciap anak ayam yang tak kalah ramai serasa berkomentar, “Kasihan kalian, benar-benar kasihan!” Lalu lanjut mengekor induk betina.

Tanah berlumpur bekas hujan semalam mengecap beragam jejak dan ukuran: sepatu bot, sandal jepit, bahkan tapak kaki telanjang. Sama-sama mengarah ke satu tujuan. Muhsan dan Wayan cepat-cepat menghampiri pekarangan ketika rombongan besar itu melewati rumahnya. Rumah paling pinggir yang beberapa hari ini menjadi tempat singgah pria-pria berseragam loreng untuk sekadar berteduh. Muhsan segera masuk ke dapur, mematikan tungku, dan mengajak Wayan membuntuti rombongan itu.

Ketika angin berembus, tetes air berjatuhan dari pucuk dedaunan bambu yang tumbuh membungkuk. Pun kentung-kentung dari batangnya yang bersiketuk berbunyi enak. Angin berembus lagi, merontokkan daun pepohonan di sepanjang jalan menuju selatan. Jalan itu sepenuhnya basah, sepenuhnya kotor, sepenuhnya rusak. Kian jauh kian beragam daun dan ranting yang jatuh, pula plastik-plastik yang bercecer. Hingga salah seorang menemukan tumbuhan muda serupa rumput teki, keluarlah sambatan dan sumpah serapah yang tak elok didengar anak-anak. Mencapai puncak ketika dataran di depan penuh genangan air. Kata-kata paling kasar keluar secara spontan. Namun pemakai sepatu bot berusaha tetap tenang. Malah banyak di antara mereka tetap berjalan lurus.

“Panggil Muhsan ke sini!” teriak beberapa orang.

Wayan menarik-narik tangan bapaknya, maksud bocah itu agar Muhsan melarikan diri, tetapi Muhsan membelah kerumunan. “Sa-saya.”

Secara alami orang-orang menepi ke pinggir. Yang di dekat tanah benyek menjaga langkahnya agar tidak terperosok dan ditertawai. Entahlah, kesepakatan untuk mengganyang Muhsan terbentuk tanpa komando. Warga memandang Muhsan itu secara sinis, sedang orang-orang bersepatu bot masih menunggu kepastian.

Tanah menjejak sandal kulit. Tidak main-main, hanya segelintir orang di Desa Baruh yang punya barang seperti ini. Semuanya menuju ke arah Muhsan. Lelaki itu tetap kukuh, tungkai tetap lurus ke arah langit. Wayan menangis, menarik-narik celana bapaknya. Meski bocah itu tidak tahu sebab perkara orang-orang marah, tetapi ia tahu teriakan mereka tadi adalah tanda keberingasan.

Lihat selengkapnya