Karat Rangka Karat Nyawa

Neo Hernando
Chapter #2

Bab 2

Berjalan di pinggir jembatan beton, tersembul lukisan jembatan Desa Baruh yang ambrol kena banjir bandang. Pun menjawab pertanyaan mengapa sungai yang mengalir di desa tak lagi jernih. Hari-hari ini, barangkali, warga Desa Baruh bersama-sama dengan para tentara melambatkan pembangunan jembatan sekadar memunguti sampah. Muhsan melihat sendiri bagaimana ibu-ibu membuang sisa makanan ke sungai tanpa rasa bersalah. Seorang bocah lanang yang buang kencing di tepian tanpa rasa malu. Ada pula lelaki tua sedang melimbang. Tangan mengaduk-aduk beras di dalam nyiru. Setelah diangkat, warna putih mengalir.

Menoleh kiri-kanan, Muhsan menggandeng Wayan ke seberang. Bocah itu tak begitu mengerti kelakuan ayahnya. Apa yang menarik dari orang-orang di bawah sana? pikirnya. Muhsan sendiri rupanya tak mengerti apakah perbuatannya murni didorong oleh keingintahuan atau diundang rasa miris atas pengerusakan alam. Pandangan lelaki itu jatuh ke kontruksi bambu yang menjorok melawan arus. Di sana, seorang gadis cilik berambut belah berjongkok sambil mengusap-usap piring dan panci. Setelah selesai, peralatan makan dibenamkan ke sungai dan lagi-lagi warna putih disertai buih mengalir.

Searah semilir angin siang yang merusak rapi rambut Muhsan, lelaki itu mengerutkan keningnya. Mata meruncing sambil menebak-nebak bangunan beton yang dibuat di bantaran curam. Sebuah pipa menghunjam langsung ke air, entah apa fungsinya. Terus diamati hingga seorang perempuan berambut basah keluar. Muhsan mengangguk-angguk paham. Arah mata berkelok sejalur arus sungai, jauh di depan banyak bocah beterjunan ke sungai. Tambah mengerut kening lelaki itu, menggeleng-geleng kepala seolah tak ingin mengandai-andai. Namun, pikirannya sudah kadung paham. Bergidik jijik lalu melanjutkan langkahnya.

Dilewati seorang tua yang asyik menggenjot pedal sepeda onthel, Muhsan tersenyum. Manakala dunia mulai digantikan mesin—sebagaimana mobil dan motor yang banyak melintas di jembatan itu—kakek ini masih kuat bersepeda. Kulit di leher dan tangan bergelambir, bergoyang ketika sepeda onthelnya menerjang gronjalan. Tampak menikmati masa tuanya.

Sampai ke ujung jembatan, lalu lintas makin padat. Orang-orang berlalu-lalang awur-awuran. Jalanan macet, bunyi klakson melengking dan membisingkan siang hari. Terik matahari membakar emosi, tak jarang terdengar makian kepada pengendara yang mengaco dalam berkendara. Lampu merah diterobos, angkutan umum berhenti seenaknya, dan kuli angkut bebas hilir-mudik tanpa risau. Sudah umum bilamana terjadi kecelakaan, si penabrak disalahkan dan wajib menanggung ganti rugi. Sudah lazim pula yang tertabrak menuntut lebih dari biaya pengobatan dan perawatan. Maka, tidak heran di jalanan itu kendaraan berjalan dengan kecepatan siput. Para pengendara waswas agar tidak merugi.

Di pertigaan jalan, semrawut tidak tertahankan. Siang makin panas dan emosi kian meledak. Tukang-tukang becak mengetem di bahu jalan, mempersempit lebar. Kerap ditemui becak-becak kosong, ditinggal begitu saja oleh penariknya untuk makan siang. Akal pembecak cukup cerdas sehingga tidak pernah resah bila meninggalkan becak di area itu. Sebab dengan jalanan yang berkecepatan siput, pencuri bakal habis dahulu sebelum bisa kabur. Apalagi jaringan becak yang luas dan saling mengenal, tidaklah mungkin dapat lolos dengan mudah. Pernah suatu kali seorang pencuri mencoba melarikan sebuah becak. Alih-alih dapat mengayuh hingga jauh, baru mendorong becak langsung menjerit minta tolong. Pemuda itu digebuki tukang becak, pengendara lain pun ikut-ikutan menghadiahi bogem. Kerusuhan berakhir ketika tiga orang polisi datang dan menodong bedil. Jadilah pelajaran di situ, jangan bermain api dengan tukang becak.

Seorang lusuh duduk di emperan toko, kepalanya oleng karena menahan kantuk. Di dekatnya, terdapat sebuah wadah plastik berisikan koin-koin dan beberapa lembar uang. Seseorang berhenti, membuka dompet, dan memberi pengemis itu seketip. Muhsan yang berada di belakang hanya tersenyum, menjinjing tas dengan tangan kiri dan menggandeng Wayan dengan tangan satunya. Muhsan tidak lagi menoleh kiri-kanan seperti sebelumnya, lelaki itu langsung berjalan sebab kendaraan pada berhenti.

Terus berjalan dan bau busuk menyebar. Di tempat persegi yang penuh gerobak sampah, Muhsan mengamati seorang kumuh. Bahkan kiranya lebih kumuh dari pengemis tadi. Mulut karung digulung agar bisa diberdirikan. Dengan sebuah besi pengait orang itu melempar benda apa pun yang kiranya dapat dijual. Muka tampak berseri ketika menemukan sebuah boneka beruang. Meski mata hilang satu dan cokelat bulunya menghitam, tetapi tidak apa. Ia membuka karung satu lagi, memasukkan boneka itu ke sana. Lanjut mencari rongsokan.

Pagar terbuka selebar dua orang dewasa, Muhsan masuk dengan melangkahi genangan kotor. Lalat-lalat hijau serta-merta beterbangan karena merasa diganggu. Si Pemulung agak terkejut ketika Muhsan menyapanya. Barangkali heran ada orang berpenampilan baik-baik masuk tempat pembuangan sampah. Entah berbincang-bincang apa hingga pemulung itu menunjuk-nunjuk langit timur. Percakapan usai ketika keduanya saling mendorong uang. Sebagaimana si Perwira yang memberi Muhsan bantuan, ia pun berlaku sama walau eksistensinya bukan sebagai seorang tentara. Diterima, orang itu bakalan lebih bau manakala tidak dihentikan Muhsan untuk bersujud. Tangan masih menggenggam uang, syukur dan terima kasih terucap merdu.

“Ayah kasih berapa ke pemulung tadi?” tanya Wayan.

“Berapa? Tidak tahu, Ayah tidak menghitung jumlahnya.”

“Kenapa?”

“Wayan, Tuhan tidak pernah perhitungan kalau memberi. Kita pun harus berbuat sama.”

“Kalau begitu, kenapa Ayah enggak kasih pengemis tadi?”

Muhsan tersenyum. “Mana yang Wayan lebih suka beri, orang yang bekerja atau yang duduk malas-malasan?”

Wayan mendongak untuk melihat ayahnya, bocah itu menggeleng.

“Ayah lebih senang memberi seperti pemulung tadi. Daripada pengemis yang hanya duduk dan menunggu dikasihani, padahal tubuhnya tidak cacat. Kenapa tidak bekerja saja? Pemulung tadi pun tidak mempermasalahkan jumlah yang Ayah kasih. Dia tahu bukan jumlah yang terpenting, tapi keikhlasan dalam memberi dan menerima. Itu yang namanya bersyukur.”

“Jadi pengemis tadi enggak bersyukur?”

Muhsan spontan menoleh, tersenyum, kemudian membelai rambut Wayan. “Entahlah, siapa yang tahu?”

Becak diberhentikan ayunan tangan Muhsan. Tak lama setelah tawar-menawar, sepasang ayah dan anak itu menikmati angin sepoi-sepoi dan empuknya kursi penumpang.

Mengarah ke daerah perkampungan dan berbelok di persimpangan, sebuah papan kayu menunjukkan keberadaan komunitas kecil. Bunyi bel becak yang unik dan berbeda dari kendaraan lain berbunyi tiga kali. Si sopir berbalik dan dengan cepat menghilang di ujung jalan. Becak lain melewati kedua orang itu. Tek, tek, tek, bunyi khas belnya berbeda dari becak sebelumnya. Tanpa karet sehingga laher bekas dengan bebas beradu pukul dengan rangka besi.

Ter, ter, ter!” ujar Wayan, berlagak menjadi sorang tukang becak. Muhsan menyahut sebagai penumpang. Bocah itu terkikik-kikik saat becak imajinasinya berjalan. Lantas menjadi sorotan banyak orang ketika memasuki wilayah asrama. Tatap heran dan bingung dari setiap orang, baik anak-anak maupun dewasa. Namun permainan tukang becak masih lanjut. Sambil menunjuk-nunjuk, Muhsan mengarahkan tujuan becak imajinasi itu. Sesekali berhenti untuk bercakap-cakap dengan penghuni asrama, lanjut berjalan menuruti telunjuk si penumpang.

Perjalanan itu sebenarnya sangat singkat, dari pintu masuk dan cukup berbelok ke kanan, tepat di pojokan sudah sampai. Namun, alih-alih mengakhiri permainan becak dan menuntaskan kekeh cah bagus-nya, Muhsan lebih ingin berkeliling sekadar melihat-lihat. Asrama itu dibuat memanjang, cukup besar untuk menampung penghuni yang rata-rata lebih dari empat kepala. Mengecek air sumur, bersih dan tak berbau. Atap kamar mandi tampak hampir ambrol, tetapi masih dirasa kuat. Jalan hanya memutar, di hadapan sudah terlihat lagi gerbang masuk.

Wayan berhenti sejenak, mengamati pohon beringin di tengah halaman asrama. Janggut lebat berserakan di tanah, beberapa dijadikan satu dan diikat kuat. Anak-anak kecil berayun gembira di ikatan itu. Seorang anak kecil lebih manusiawi, menggunakan tali tambang untuk bermain ayunan. Sisi timur pohon beringin tampak mengenaskan, kosong dan terlihat berat sebelah. Dahannya sendiri dibiarkan tergeletak di pinggir asrama. Namun, alam berusaha memperbaiki. Tunas-tunas tumbuh dari patahan dahannya.

Lihat selengkapnya