Karat Rangka Karat Nyawa

Neo Hernando
Chapter #3

Bab 3

Asrama Roestam, tulisan putih itu terpampang jelas di papan nama kayu. Dituliskan juga alamat supaya eksistensinya diakui masyarakat. Lampu pendar yang tergantung oleh kabel bersinar keruh. Bukan karena lampu sudah usang, melainkan karena sinar yang menerangi jagat sudah muncul di langit timur. Papan nama seutuhnya berselimut cahaya terang seolah memaksa siapa pun yang melihat untuk berikrar, “Di sini, di sepetak tanah ini, berdiri Asrama Roestam!”

Kukuruyuk jago yang dipelihara penghuni asrama sambar-menyambar sejak pukul tiga. Mereka beradu, saling pamer suara kepada betina-betina yang asyik keluyuran dan berkotek-kotek. Di bebatuan, seekor jago memekarkan bulu lehernya. Posisi kepala direndahkan dan tiba-tiba kepak sayap keemasannya terdengar riuh. Ceker bersitemu dengan ceker. Tak sedikit pun memiliki rasa malu melawan jago yang sedang mabung. Bulu-bulu beterbangan, si mabung makin gundul. Keduanya dalam posisi siaga, jalan memutar lambat. Paruh mematuk, sayap mengepak, ceker menggaruk, lalu berkejar-kejaran.

“Petok! Petok!” jerit sang penantang. Kemenangan untuk si mabung walau bulunya berserakan. Namun, kemenangannya adalah curang. Seseorang dengan berani menggotong si penantang. Beralasan agar tidak menanggung ganti rugi, ia rela tercakar-cakar. Jagonya kini berkokok-kokok di dalam kurungan. Barangkali menuntut sang majikan melepaskannya. Atau boleh jadi memaki-maki karena kalah dengan cara paling memalukan.

Seorang bocah mendengus sebal sebab sedari tadi menikmati aduan itu dari jauh. Malah sudah berpikiran si mabung bakal kelojotan hampir mati. Berjalan sambil menendang-nendang batu. Kedua tangan mengayun-ayunkan handuk. Menyayangkan aksi bodoh pemilik ayam itu.

Otot lengan menegang dan kerek berputar. Ember besi penuh air muncul, air diguyur ke bak. Seorang muda tampak kepayahan menimba air sumur. Lihatlah, dari caranya menimba sudah tidak kuat; membungkuk dengan tarikan tangan terputus-putus. Bintik-bintik keringat pun muncul di wajah. Selagi bersusah payah, gebyuran dari dinding sebelah kedengaran sangat keras disertai cekikikan dan gigil seorang bocah.

Owalah, bocah iki jan ….

Tenggorokan mendadak tersedak, mulut lelaki itu terkatup rapat. Berpikir-pikir, apakah pantas mengumpat kepada seorang bocah? Tentu tidak, pikirnya. Kini ia memikirkan siapa yang lebih tepat untuk dimaki. “Jan asu tenan wong-wong iki ….

 “He, isuk-isuk wis misuh. Dasar bocah kurang adat!”

“Ini lo, Mbah, orang habis pakai kamar mandi enggak diisi baknya.”

“Alah, enggak usah alasan.”

Lho, mboten, Mbah—”

“Jelas-jelas misuh kok bilang enggak. Mentang-mentang saya sudah tua, kamu pikir telinga saya kurang bisa dengar, iya?”

Weladhalah, mboten—

“Melawan lagi?”

“Ada apa, Mak?” tanya seseorang, heran karena pagi-pagi sudah mendengar keributan.

“Ini, Pak, dia dibilangi malah ngeyel. Owalah, bocah-bocah saiki padha angel nek dikandhani.

Sedang banyak orang tertarik datang, bintik keringat di wajah pemuda itu makin banyak, mengalir ke pipi, dan berjuntaian di dagu. “Enggak, Pak, bukan begitu.”

“Oalah, To. Sudah gede kok kupinge sik kandel wae.

Salah satu pintu kamar mandi terbuka. Bocah tadi tengak-tengok, bingung. Melihat seorang pemuda menunduk, kejahilan terlintas di kepalanya. “Sudah besar kok dimarahi. Hi-hi-hi!”

Kirik koen!

“Hi, takut!” balas si bocah, langsung berlari menjauh.

Wajah-wajah menjadi geram. Tidak satu pun di antara dewasa itu menyalahkan si bocah. Bagi mereka, yang lebih dewasa harus bersabar menghadapi anak kecil. Sebab suatu kewajaran kalau anak kecil suka nakal, kedewasaan dan budi pekerti belum matang di usia itu. Berbeda dengan pemuda di depan mereka, ia sudah besar dan dianggap telah memahami seluk-beluk berperilaku dalam masyarakat.

Di lain pihak, di kepala pemuda itu, ekspresi bocah ote-ote masih bergentayangan. Tidak terima, sungguh tak terima. Rambut masih menetes air, tubuh terbasuh sabun, dan menikmati segar pagi hari. Bukankah itu semua berkat dirinya yang menimbakan air untuk sang bocah? Lantas dengan santai mulut bocah itu memperolok dirinya, bisakah itu diterima? Tentu tidak, pikirnya. “Malahan aku harus mendapat pujian dan terima kasih karena telah berbaik hati menimbakan air. Ya, benar. Aku tidak salah, orang yang terakhir kali menggunakan kamar mandi ini yang salah. Bocah itu juga. Sialan!”

“Bawa ke orang tuanya, Pak, biar kapok.”

Lihat selengkapnya