Kontur tanah miring dibuat rata, menghasilkan tebing setinggi dua meter. Tanah merah ditimbun batu bata. Berjejer hingga memakan seperempat lahan belum jadi. Agak ke bawah, timbunan pasir menyerupai pegunungan selatan Jawa. Tanpa peduli siapa yang punya tanah, para kuli proyek membuang pasir di sana. Sebuah truk penuh muatan datang. Lantas batu kali seukuran kepala manusia dilempar-lempar seperti bermain gundu. Layaknya orang kurang waras yang tak takut kematian, kuli di dalam bak truk itu terus membuang batu kali. Kuli-kuli yang lain diusir secara paksa, mengeyel risiko tanggung sendiri. Barangkali kepala pecah, punggung remuk, atau paha berdarah-darah. Tidak ada yang mau ganti rugi.
Muhsan duduk di bawah pohon bambu. Pokoknya merunduk seperti batang padi. Angin berembus dan dedaunan lanset berbulu berjatuhan. Berputar-putar di udara sebelum akhirnya menelentang diri di tanah. Terik dari atas bahu entah kenapa bisa menyeruduk kanopi rumpun bambu. Meski bertelanjang dada, gerah masih menggigit-gigit kulit. Muka diusap, Muhsan menguap lebar-lebar. Tangan dikepak, menyuruh angin mendinginkan tubuh.
“Yang lain istirahat di warung, sampean kok masih di sini?” tanya seseorang bertubuh gemuk.
“Oh, Pak Wang.” Muhsan buru-buru berdiri. “Anu, di warung kebanyakan orang, sumpek.”
“Pak Wang ….” Lelaki itu menggeleng-geleng dan matanya makin sipit. “Jangan panggil Pak Wang, kesannya aku ini jadi penjaga hewan. Kong Wang juga, ndak enak didengar. Sampean mau tak anggap pawang hewan atau tua renta? Tidak toh? He-he. Cek Wang boleh, Koh Wang bisa, tapi orang-orang biasa panggil Encek atau Ncek Wang. Ada satu orang yang nyebut A Wang. Banyak. Tinggal pilih salah satu.”
“I—iya, Ncek.”
“Bagus, bagus. Sampean ada masalah? Kok kelihatan nesu. Butuh uang?”
“Wadhuh, Ncek, kalau dibilang butuh uang semua orang juga butuh. Ditawari uang semua juga pengin. Apa ada orang enggak mau uang?”
Ncek Wang menunduk lalu sedikit menurunkan kacamatanya. Diamati lelaki di hadapan. Alur hijau di pelipis, tangan, dan kaki. Kening tidak ada kerut, tetapi ada lengkung dari cuping hidung ke sisi mulut. Ia mengangguk-angguk. “Kebutuhan sehari-hari cukup sekadar jadi kuli angkut? Ndak pengin jadi yang lain?”
Muhsan sekilas melirik ke semangkok bakso yang masih utuh. Mulutnya mengecap-ngecap. Ncek Wang buru-buru menyela, “Oh, silakan makan. Sampean sambil makan saja ndak apa.”
Muhsan menurut. Barangkali panjang urusan jika memberontak yang punya proyek.
“Sampean jangan sungkan-sungkan. Aku ndak bisa nyuruh ular gigit atau latih monyet joget. He-he.”
Muhsan cengar-cengir dan mengangguk kecil. Tidak menjawab dengan kata-kata sebab mulutnya sedang menguyah lontong.
“Penghasilan jadi kuli masih kurang?” Ncek Wang bertanya sekali lagi.
“Kalau saya pribadi sih pas-pasan. Bisalah ditabung sedikit.”
“Yang benar? Biasa orang-orang pada ngeluh gara-gara hidup susah. Sampean belum berkeluarga?”
“Sudah. Sekarang tinggal berdua sama anak.”
“Oh … kalau tak tawari kerja lain bagaimana? Barangkali capeknya seperti menguli, tapi hasilnya lebih lumayan. Lebih manusiawi sebutannya.”