Karat Rangka Karat Nyawa

Neo Hernando
Chapter #5

Bab 5

Becak dikayuh, kawat besi berhias bulu ayam di sepatbor belakang bergoyang. Gemerencing potongan logam tipis bersahut-sahutan kala becak berguncang karena menerjang gronjalan. Roda membelah kubangan, air memuncrat paling jauh selengan orang dewasa. Bodi becak basah terkena cipratan, cat warna-warni kini lusuh. Namun becak-becak masih melaju, tak peduli dengan kotor. Bagi pembecak, bodi luar adalah masalah kedua. Yang terutama adalah bagian dalam, tempat penumpang menjadi raja. Wilayah sakral yang harus selalu bersih dan nyaman.

Tak jarang suara unik bel becak bersitemu. Menggunakan ter-ter atau tek-tek suara belnya, para pembecak bertegur sapa sembari mengangkat salah satu tangan. Sesekali meneriakkan nama bilamana sama-sama berasal dari satu tauke. Kenal tidak kenal, mengangkut penumpang atau tidak, jemari selalu sigap membunyikan bel. Laher bekas siap di-selentik.

Di sisi kiri jalan, para pembecak dipeningkan becak masing-masing. Seseorang menjungkalkan becaknya, pedal diputar-putar dengan tangan. Gerakannya seret, tetapi menjadi mulus karena gir dan rantai diberi oli. Seorang yang lain menepuk-nepuk jok belakang, secara paksa meng-oglak-aglik-kannya. Kunci inggris diambil, dalam sekejap jok belakang sudah kukuh dan naik beberapa senti dari tinggi semula. Di pojokan, di salah satu becak yang terguling, roda belakang diputar-putar. Guling ke depan, guling ke belakang. Akhirnya berhenti ketika si pembecak mendengus kesal. Tiga ruji roda becaknya terkatung-katung, lepas dari pelek besi.

Di bawah kanopi tepas, pengayuh-pengayuh becak pada cangkruk. Ditemani segelas kopi yang dibeli dari warung sebelah, mereka mengobrol ngalor-ngidul. Berolok-olok akan nasib sebagai pembecak. Kekeh renyah tak ada habis-habisnya. Di salah satu sisi teratak, pembecak duduk bertongkat lutut, jongkok, dan bersila. Kartu dibanting-banting sambil berteriak kencang.

“Judi, ya! Hayo, main judi!” kata si Caping saat melewati sekumpulan pembecak itu. Ia memakirkan becaknya kemudian terkekeh. “Nafkahi keluarga saja masih sempoyongan, malah main judi. Siapa yang menang?”

Owalah, semprul! Ini judi, orang bersih tidak boleh lihat! Nanti kau lapor polisi, kami kena ringkus.”

Sontak semua pembecak yang hadir di situ terkekeh. Namun tidak bagi lelaki yang kartunya bertambah banyak.

“Ayo, ambil terus biar mampus! He-he-he.”

“Oalah, lek ngocok kartu ora nggenah! Ket maeng mek entuk wajik tok.”

Si Pengocok Kartu terkekeh. Dialah yang kartunya pertama kali habis. “Iku nasib’e sampean. He-he.”

“Nah!” si Peminum Kartu membanting sembilan hati.

“Cuma sembilan? Aku sepuluh dong. Ha-ha.” Dibanting lagi sebuah kartu.

“Hati? Tenang aku masih punya. Nah, mangga sampean nambah koleksi.”

Sampean-sampean iki jan asu tenan!

Kekeh melambung lagi. Kopi diseruput, gulungan tembakau disulut. Suasana di pekarangan tauke becak makin ramai.

“As!” si Peminum Kartu tampak senang terlepas dari banyaknya kartu yang sekarang tak muat di tangan. “Coba yang ini. He-he. Sampean enggak usah pura-pura mikir. Yang hitam-hitam semua ada di aku. Mangga diambil kartunya. He-he.”

Orang di sebelah kirinya terkelu, ragu mengambil kartu.

“Nah, giliranku lagi. Silakan diambil,” katanya sambil menoleh ke orang sebelah kanan.

Begitu seterusnya si Peminum Kartu menguasai jalan permainan. Ambil dan diambil. Si Pengocok Kartu mengangguk-angguk. Hebat, pikirnya.

“Wah, ya menang tah aku. He-he,” sahut si Peminum Kartu penuh kepuasan. Segera menyulut rokok sebagai tanda kemenangan. “Yang suka minum belum tentu mabuk, Bapak-bapak. He-he-he.”

“Judinya berhenti!” seru si Caping. Arah becaknya ke jalanan. Kekehannya masih terdengar di antara berisik pagi hari.

Si Peminum Kartu balas berteriak, “Aku wis entuk rokok sebatang!”

Kedua orang yang telah bersantai dengan asap tembakau menikmati keringat yang mengalir di pelipis dua orang lainnya. Tampak sengit sebab satu sama lain tak ingin kehilangan sepuntung rokok. Kopi diseruput, kartu dibanting, lalu teriak bermunculan. Pagi hari di teratak sangat ramai. Kadang pengguna jalan harus menoleh untuk ikut merasakan keseruan pembecak bermain cangkulan.

Di ujung halaman, seseorang berperawakan besar sedang menikmati dunia. Wajahnya yang kuning terlihat berseri. Senangnya diperjelas matahari pagi. Namun bukan bersimpati atas kegembiraan pembecak, melainkan karena lembar-lembar uang yang terus mempertebal dompet. Buku kas penuh coretan tinta. Berisikan nama-nama pembecak, pelat nomor becak, dan jumlah setoran. Pagi hari membuatnya selalu senang. Dan akan terus begitu selama ia menjadi tauke becak.

“Ada apa Ncek, dari kemarian tak perhatikan kok tolah-toleh melulu? Nunggu orang?” tanya seorang pembecak. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan helaian kertas berharga, lalu memberikannya bebera lembar kepada sang tauke.

“Oh, terima kasih.” Ncek Wang membuka buku sakralnya, cepat-cepat menulis. “Iya, dari lusa kemarin belum datang.”

Pembecak itu mengangkat alis serta mengangguk. Pahamlah ia juga semua pembecak kalau sang tauke berulah tak sabar begini, pastilah ada orang baru. “Ya, ditunggu saja, Ncek. Tunggu sampai uzur! He-he.”

Lihat selengkapnya