Karat Rangka Karat Nyawa

Neo Hernando
Chapter #6

Bab 6

Langit mekar di barat. Mambang kuning warna istananya. Awan-awan tipis bersihadap, membikin jalan untuk sang terang memberi cahaya. Bayang-bayang menunjuk arah timur, memihak singgasana lila milik rembulan. Terjadilah perang besar di angkasa, gagah-menggagahi agar salah satu kerajaan runtuh. Di bawah, segala makhluk menikmati keindahan perang mereka. Mambang kuning dan lila berbaur menjadi warna yang cantik. Awan-awan putih terkena imbas, samar-samar dilukis keindahan. Burung-burung gereja beterbangan, hinggap di kabel panjang, terbang lagi sambil memberitakan kemenangan sang dewi malam.

Kotek ayam betina berakhir, bunyi beberapa menit lalu memerintah anak-anaknya pulang. Si jago berakhir dalam kurungan, tak mampu berkokok sebab otak melinglung dan mata merabun. Seekor kelelawar yang entah dari mana asal-muasalnya berkeliaran bebas. Terbangnya oleng karena kaget. Sedang sial sebab tubuhnya disoroti remang lampu jalanan. Buru-buru mengepak agar keberadaannya kembali disamarkan petang.

Petai cina di pinggir jalan seolah menjadi saksi. Meski jumbai daun yang ramai sudah pada menguncup, buah polongnya menggantung dan menunjuk-nunjuk ketika angin malam berembus. Bola-bola berwarna gading dalam satu malai banyak yang rongak, bunganya bersebaran di tanah hingga terbawa aliran got. Di percabangan batang, sarang burung pipit terlindungi dan tersembunyi. Namun, dari situ dapat mengintip kegelisahan seorang pria.

Terengah-engah. Lelaki itu bukan habis berlari sekian kilometer jauhnya, tetapi dibuat cemas oleh gedoran di hati. Nurani dan akal sehat berkecamuk, tak mengira pilihannya malah membuat kecewa anak semata wayang.

“Jadi benar sampean mau lanjut mbecak?”

“Iya, Ncek. Mau bagaimana lagi, anak saya di rumah nangis gara-gara tadi saya pulang enggak bawa becak. Pikirnya, itu becak sudah punya saya. Tiba-tiba enggak ada, dikira becak itu dicuri. Malah nyuruh-nyuruh saya lapor polisi. Wong saya hadap-hadapan sama polisi aja gemetar. Bagaimana mau lapor?”

“Tapi, sampean sebenarnya ikhlas jadi tukang becak?”

“Kalau dibandingkan sama nguli sih capeknya sama. Tapi mbecak yang katanya upah lebih besar, saya enggak setuju. Wong saya sudah nyoba sendiri, dapat sedikit terus.”

“Alah, nggedabrus tok! Aku tiga tahun mbecak penghasilan enggak pernah kurang dari empat ribu,” sela seseorang. Apabila Muhsan tidak salah ingat, orang ini suka bermain catur di teratak.

“Dia baru tiga hari mbecak.” Ncek Wang membalas cepat.

“Oalah, pantas. Baru tiga hari sudah ngomong mbecak rugi. Sampean kurang pengalaman. Lihat, aku saja sudah bisa nyicil becak.” Ia menyerahkan lembaran uang kepada Ncek Wang. “Jangan mikir ini dari nguli, ini dari mbecak.”

“Sip! Tiga minggu lagi lunas. Atau begini saja, sampean ajarilah Pak Muhsan. Hitung-hitung membantu sesama pembecak, apalagi sama-sama satu tauke.”

“Boleh-boleh saja. Tapi lucu, baru kali ini ada orang yang diajari mbecak. Oalah, ada-ada saja sampean ini. Besok ke sini pukul setengah lima!”

“A-apa enggak terlalu pagi?”

“Walah, walah … ini yang bikin dompet sekarat. Ibu-ibu pada belanja itu subuh, enggak ada belanja pukul enam. Yang di rumah mau dikasih makan apa? Cuma nasi? Pasti ngomel-ngomel mereka. Jangan-jangan tiga hari ini begitu, oalah, pantas bilang nguli lebih enak. Kerja harus rajin biar berkah. Betul, Ncek?”

“Betul. He-he-he.”

“Ya, sudah. Besok jangan lupa. Pukul setengah lima!” Memutar setang becak, orang itu menghilang di keremangan lampu jalanan.

“Tapi, urusan anak masih belum selesai, Ncek. Apa benar tidak bisa saya bawa becaknya?”

“Nah, itu yang sulit. Sebenarnya aku mau bantu, tapi sudah kebijakan perusahaan. Ini tempat sewa becak, ndak bisa dibawa pulang. Semisal boleh, bakal habis becakku dibawa kabur.”

“Saya kan tinggal di Asrama Roestam, pastilah Pak Rus bisa awasi kalau saya macam-macam.”

“Iya, aku tahu. Tapi, bagaimana yang lain? Mereka juga pengin bawa becaknya sendiri-sendiri. Siapa yang tidak iri kalau dianak-emaskan?”

“Kalau saya beli? Nyicil seperti Tambiyo.”

“Eh, yang benar? Yakin? Sampean baru di perbecakan, bagaimana kalau tidak bisa bayar cicilannya? Orang-orang baru berani beli kalau sudah narik selama empat sampai enam bulan. Aku tidak mau sampean kena jerat utang gara-gara harus melunasi cicilan.”

“Mereka kan harus kasih nafkah banyak orang. Beda sama saya yang cuma perlu menghidupi dua orang, saya sendiri sama anak.”

Ncek Wang menangguk. Dagunya diusap-usap sembari menerawang jauh. “Benar, sampean niat mbecak?”

“Untuk Wayan, apa pun saya bersedia.”

“Tapi, dia masih kecil. Masih butuh perhatian orang tua, apalagi sampean sudah ndak beristri. Apa ndak kasihan?”

Muhsan spontan tergagu. Jakunnya naik-turun karena sibuk menelan ludah. “Se-sebentar lagi dia akan sekolah. Jadi masih ada guru yang bisa bimbing.”

“Lalu, bagaimana selama dia masih belum sekolah? Sampean telantarkan untuk cari uang? Tega sampean sama anak lima tahun?”

Napas Muhsan buntu sekaligus pita suara serasa tersangkut di tenggorokan. “Ka-kalau saya pulang enggak bawa becak, tangisannya tambah kencang.”

“Kan bisa bilang polisi ndak berhasil lacak becaknya. Jadi, sampean enggak perlu tanggung risiko.”

“Saya kasihan.”

Lihat selengkapnya