Memancal becak di tengah corong ganas matahari, keringat berlumuran di sekujur tubuh. Handuk kecil yang melingkari leher sudah menghitam, makin mirip kain gombal ketika Muhsan mengelap keringat. Sampai di pertigaan, lelaki itu turun dan mulai mendorong becak. Napas megal-megol, mata melawan terang dari atas, dan membuat iba penumpang yang duduk enak-enakan.
“Kuat, Pak?” tanya sang penumpang, ragu akan tubuh Muhsan yang jarang lemak.
“Pasti kuat, wong dulu saya sehari-hari nguli masakan enggak kuat? He-he.”
Sang penumpang mengiyakan saja. Sudah maklum atas perilaku tukang-tukang becak yang mengangkut dirinya. Sebelum-sebelumnya pun begitu, bersikukuh mengatakan kuat meski napasnya hampir habis. Dan yang tidak dapat dimaklumi adalah dirinya sendiri. “Tubuh besar begini malah naik becak,” gumamnya.
Memang beberapa tukang becak pernah menurunkannya di pertigaan itu, ia sadar dan memberi ongkos penuh meski ditagih setengah atau seperempat. Tak maulah dicap tak berperikemanusiaan karena memeras tenaga tukang becak. Barangkali itu sebagai apresiasinya kepada pejuang-pejuang kehidupan. Tidak seperti ojek atau bemo yang lebih dulu menolak karena melihat tubuhnya sebesar gajah. Entah untuk mikrolet sebab kendaraan itu tak melewati jalur ini.
Acapkali mengagumi kegigihan pembecak dalam mencari nafkah. Tetap terkekeh serumit apa pun pekerjaan mereka. Kadang kesusahan membawa batang-batang bambu, timbunan kardus yang menghalangi penglihatan, atau membawa penumpang macam dirinya. Ia geram ketika orang menawar-nawar ongkos hingga harga yang paling rendah. Sama halnya pedagang di pasar yang ditawar semurah-murahnya. Nyatanya membeli di pasar swalayan tidak pernah menawar dan merasa sah-sah saja dengan harga yang tercantum. Menganggap sepadan kualitas barang dan bangunan megah yang disebut emporium. Dengan cara pikir semacam ini, bukankah mereka malah menghina pedagang di pasar? Maka, apa boleh disebut penghinaan juga bilamana menawar ongkos karena hanya sekadar becak?
“Kalau enggak kuat, enggak apa-apa, Pak. Turunin saya di sini saja. Tenang, tetap saya bayar penuh.”
“Ini kan pekerjaan saya, namanya tidak tanggung jawab kalau menurunkan penumpang di tengah jalan. Dokter atau jurnalis punya kode etik, kami, pembecak pun punya.”
Si penumpang mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Daripada becaknya meluncur ke bawah kan lebih bahaya.”
“Hus! Sampean jaga mulutnya, terjadi benaran bagaimana? Sampean mau saya nabung dosa? Orang sudah banyak dosa jangan ditambah-tambahi.”
“Lo, niat saya baik. Demi keselamatan bersama.”
“Eh, Pak, jangan banyak gerak nanti merosot!”
“Saya sebetulnya kasihan sama Bapak. Sudah saya minta berhenti di sini. Lihat, dada sudah kembang-kempis kayak mau meledak. Saya bayar penuh, sungguh!”
“Saya kerja, Pak, bukan mencari kasihan. Semisal saya terima tawaran Bapak, apa bedanya saya dengan pengemis? Lagipula tanggung, sebentar lagi sampai.”
“Jika punggung pegal-pegal jangan salahkan saya.”
“Tinggal dipijat sama anak beres.”
Si penumpang lagi-lagi tersenyum. Hendak terkekeh atas sikap tegar tengkuk Muhsan. Namun apa daya, tukang becak nyatanya memang banyak yang keras kepala. Ia menurut saja, tidak banyak bergerak hingga sampai tujuan.
“Nah, bagaimana? Sampai juga toh.”
“He-he. Iya, ini ongkosnya.”
“Wadhuh, kebanyakan ini. Dikira saya ngasih ongkos mengada-ada, nanti enggak ada yang mau naik becak saya.”
“Di restoran-restoran, pelayan sering dikasih uang tip. Tukang becak dikasih enggak mau? Bolehlah saya ambil kembali. Lumayan kan tiga ratus bisa buat seporsi makanan enak.”
Muhsan mengamati orang itu dari ujung kaki hingga ujung rambut. Banyak kali porsi makan orang ini, pikirnya. Maka, benak Muhsan pun mencari pembenaran. “Bukankah kalau kau terima pemberian orang ini, kau membantu mengurangi kegemukannya? Jadi, tidak ada utang-piutang karena kau dan dia saling diuntungkan.” Muhsan mengangguk-angguk, setuju.
“Wadhuh, kalau bisa sih bagi-bagi berkah juga sama saya. He-he.”
“Zaman sekarang siapa yang enggak mau duit. He-he. Silakan ambil, Pak.”
“Sampean ikhlas?”
“Sampean banyak omong, saya ambil balik lo.”
“Oh, iya, iya. Matur nuwun ya Gusti! Terima kasih, Pak. Jarang-jarang saya dapat berkah.”
“Hidup itu sudah berkah, Pak. Kadang diberi lebih, tidak ada salahnya kita bagi-bagi kepada yang kurang. Benar?”
Muhsan tersenyum sekadar mengiyakan. Ia menoleh kiri-kanan, jalanan cukup sepi. Dengan mudah membalik haluan, bergumam-gumam di jalan menurun, “Jadi maksud dia, aku orang yang kekurangan, begitu? Eh, lihat, banku gembos. Walah, ujung-ujungnya sebagai uang ganti rugi. Akal-akalan orang itu saja biar dianggap baik. Weladhalah, orang-orang kok buat baik, ujung-ujungnya nipu.”
Denyut dan napas rancangan manusia pada akhirnya mempunyai celah, pikir Muhsan. Kibul dan mengibuli, inilah esensi yang tak terelakkan dari manusia itu sendiri. Orang bodoh yang termakan idealisme sendiri selalu menjadi korban akibat pangling akan realitas kehidupan. Wujud yang diperjuangkan, sesuatu yang dicita-citakan, dan hal yang didambakan, apakah semua itu akan dapat berdiri tegak meski unsur-unsur kehidupan sering bersenggolan dan tanpa ampun merobohkannya? Begitulah inti kehadiran manusia, bersinggungan untuk saling mengibuli. Saling menghapus idealisme untuk mencelikkan netra. Yakni menyadarkan akan bebatuan kehidupan.
“Wadhuh, sekarang sudah jago mbecak. Baru setengah hari sudah dapat tiga ribu. Hebat kali kau, Muhsan.”
“Alah, apanya yang hebat. Ini buat cicilan, yang ini untuk ganti ban,” balas Muhsan sambil memisah-misah tiap lembaran uang. “Tadi ada orang tak tahu diri, sudah tahu badannya sebesar gajah kok masih saja naik becak. Sudah gitu jalannya menanjak, mau menyiksa aku barangkali.”