Karat Rangka Karat Nyawa

Neo Hernando
Chapter #8

Bab 8

Melepas topi ember dan mengibas-ngibaskannya, Muhsan mengusir pening di bawah pohon kersen. Buah-buah merahnya membenyek, banyak yang terlindas kendaraan maupun membusuk di tanah. Barangkali batu besar yang kini diduduki Muhsan telah ternoda ribuan biji kekuningan yang telah mengering. Namun lelaki itu sama sekali tak peduli, malah asyik memandangi naungan rindang pohon itu. Keringat dilap, topi dimain-mainkan, ia bangkit berdiri.

Jangkauan tangan Muhsan dengan mudah meraih buah merah itu. Tidak diambilnya yang terlalu masak, sebab mudah hancur dan terlalu manis. Hingga tangannya berhenti mengutil, ia duduk kembali di batu besar. Tangan bergerak berulang; keluar-masuk topi ember krem. Tidak banyak buah yang diambilnya, tetapi tidak bisa dikatakan sedikit. Pas nama lainnya. Tentu, meski pikiran Tambiyo mencemari pikiran Muhsan, ia tidak serakus Tambiyo. Barangkali anak-anak juga ingin memakan buah mirip ceri itu, pikirnya.

Memandangi satu-dua pejalan kaki dan pedagang kaki lima, berbalik arah mengamati kendaraan yang lewat, Muhsan mempertanyakan apakah sebenarnya setiap manusia dibekali kerakusan? Lihatlah, pedagang-pedagang kaki lima menyabotase trotoar, sebuah truk memakan tiga per empat lebar jalan, mobil-mobil parkir sembarangan dan menyita sebagian trotoar sekaligus jalanan. Keamburadulan itu menyebabkan pejalan kaki kerap diteriaki klakson. Lalu, siapakah yang paling dirugikan di sini? Bukankah para pejalan kaki? Apakah kesalahan mereka manakala berjalan di aspal karena hak dirampas? “Dunia sedang membanyol,” gumam Muhsan.

Tidak di kota, tidak di desa, terdapat kesamaan yang mendasar: kerakusan. Entah bagaimana bentuk kerakusan itu sendiri, pastilah berbeda-beda. “Desa Baruh sendiri serakah akan kebencian, alhasil aku dan Wayan kena imbas. Di kota, ketamakan lebih jelas lagi terlihat. Namun, beginilah kenyataan. Kehidupan memancing orang-orang bodoh agar memakan umpannya. Bila kena, matilah mereka dijadikan sarapan. Satu-satunya cara adalah mengikut arus sehingga manusia tidak menghiraukan kail pancing yang sesat.”

“Mas, ke terminal berapa?” tanya seorang perempuan.

Muhsan mengangkat alis tebalnya; mengira-ngira gelagat aneh calon penumpang. “Dua ratus.”

“Yang cepat tapi.”

“Oke, mari naik.” Muhsan membuang sisa buah kersen di topi, menggaruk hidung, lalu segera menaiki becak sambil menyeringai. Akal-akalannya begitu mudah berhasil. “Terminal, berangkat!”

Bus antarkota mulai terlihat lalu-lalang, Muhsan terus mengayuh hingga keringat bermunculan lagi. Ia melirik tas besar di samping sang penumpang, mengayuh becaknya lebih kuat lagi. “Kalau buru-buru kenapa enggak pakai ojek saja, Mbak?”

“Soalnya suami saya tukang ojek.”

Alis Muhsan berkerut, kayuhannya melambat. “Maksudnya, Mbak? Kan malah enak bisa diantar suami.”

“Diantar ke mana? Ke rumah lagi? Saya kapok, nanti malah dipukuli.”

“Dipukuli bagaimana, Mbak? Ah, jangan main-main. Wadhuh, saya nanti dituduh macam-macam. Bisa-bisa masuk halaman utama koran harian kan gawat. ‘Seorang Tukang Becak Melarikan Perempuan Hamil’, begitu judulnya. Owalah, Gusti, kita balik saja ya?”

“Kalau balik, beritanya berubah lagi, ‘Seorang Ibu Hamil Dianiaya Suami Sendiri’. Hayo, pilih mana? Masnya mau tanggung jawab?”

“Aduh, apa enggak bisa dibicarakan baik-baik? Kesannya saya yang jadi penjahat. Satu bawa kabur istri orang, satu lagi membiarkan ibu hamil disiksa.”

“Enggak bisa. Saya sudah benci sama suami saya.”

“Ba-bagaimana kalau lapor polisi saja? Dibicarakan sama yang berwenang saja supaya perkaranya segera kelar.”

“Kalau Masnya mau menemani saya, boleh.”

“Oalah, Mbak, kalau saya ikut nanti saya dikira biang kerok masalah rumah tangganya Mbak.”

Perempuan itu menoleh, berpikir sejenak, “Kalau enggak mau enggak apa-apa, toh saya masih bisa pulang kampung.”

“Apa Mbak enggak kasihan sama saya?”

“Justru Mas yang enggak kasihan sama saya.”

Muhsan tersentak, ia mengerjap cepat. “Ya sudah, tak antar ke kantor polisi. Oalah, Muhsan … nasibmu dina iki cek elek’e ….

Melenceng dari tujuan awal, Muhsan mulai gemetar ketika beberapa meter lagi sampai di kantor polisi. Dari jauh tampak jok dan roda becak hasil razia dipajang bebas di halaman. Bahkan ada tiga becak utuh. Pembecak gugu itu membayang-bayang, jikalau parkir di sana apakah becaknya bakal kena rampas? Kalaupun parkir di dekat-dekat sini, seratus persen kena angkut gara-gara diparkir sembarangan. Ia menelan ludah, pasrah.

Bebauan aneh menyeruduk hidung Muhsan. Tangan tak bisa berhenti gemetar, Muhsan terlihat sempoyongan. Si penumpang dengan santai menerjang maju, tak peduli dengan kondisi jiwa Muhsan yang menciut. Di dalam, ia plonga-plongo mendengarkan cerita tragis seorang istri dipukuli suami sendiri. Muhsan yang sebenarnya tidak tahu-menahu seperti orang tolol, tersentak karena tiba-tiba perempuan itu menunjukkan paha yang membiru. Polisi di hadapan malah mengangguk-angguk.

“Kegilaan macam apa yang polisi ini pikirkan?” tanya Muhsan kepada diri sendiri.

Polisi hilir mudik di sekitar Muhsan, ia berkeringat dingin. Hendak menoleh untuk memastikan becaknya aman, tetapi batal sebab otot lehernya terlalu tegang. Pun tak cukup keberanian untuk sekadar menoleh. Barangkali becaknya kini sudah dirantai, Wayan akan menangis sepanjang malam, cicilan mau tidak mau harus dilunasi, uang dari mana? Muhsan tak sanggup berpikir. Sungguh tak sanggup.

Obrolan antara ibu hamil dan polisi pun usai, Muhsan bergegas menuju parkiran. Lihat, betapa senang lelaki itu hingga memeluk-meluk becaknya. Beberapa polisi menatapnya bak melihat orang gila. Namun Muhsan tak peduli. Hanya becak, satu-satunya perkara yang menggenangi pikiran Muhsan. Bel becak dibunyikan tiga kali, kemudian berteriak memanggil si penumpang yang masih termenung.

“Bagaimana, Mbak, tetap mau pergi? Mumpung saya lagi senang, wus, langsung sampai terminal.”

Si penumpang tidak merespons panggilan Muhsan. Perempuan itu berjalan dengan pandangan kosong. Pucuk hidung mulai merah dan mata mengerjap-ngerjap. Memikirkan bayi yang bakal tumbuh tanpa ayah serta sakit hatinya kepada sang suami. Apa ini keputusan yang tepat? Ia masygul, jalannya pun diseret sebab tubuh tiba-tiba lemas. Tanpa sadar menyetop sebuah mikrolet dan dalam sekejap hengkang dari pandangan Muhsan. Ia terbengong.

Asyik mendayung pedal di pinggir jalan, Muhsan mulai kepikiran perempuan tadi. Bukan terbayang rambutnya yang mirip di majalah-majalah model. Bukan pula tertarik kecantikan yang luntur kena air mata. Atau bahkan bayi yang ada di perut perempuan itu. Melainkan trik curang yang hanya bisa dilakukan ibu hamil, pura-pura melupakan segalanya lalu menyelonong pergi. Sepanjang jalan, Muhsan bergumam-gumam. Tidak untuk mencaci maki kesialannya, tetapi mengagumi pengibulan atas dirinya. Barangkali dia kelupaan karena banyak pikiran, tetapi siapa yang tahu semisal dia berpura-pura? Muhsan menggelengkan kepala, berusaha mengikhlaskan.

“Oi, Muhsan. Mau ke mana?” Ncek Wang menepikan pikapnya.

Lihat selengkapnya