Melewati jalanan berdebu, tembok setinggi satu setengah meter menghalangi pekarangan warga. Di sisi kanan, sebatang pohon pisang tumbuh miring, tiga pelepahnya bengkok keluar dan membiarkan daun yang sobek-sobek memakan sepertiga jalan. Dua pelepah lain menjulur ke depan, sisanya mencuat ke atas dan terhuyung-huyung ketika angin berembus. Sebuah tangkai menjuntai berbeda, memamerkan jantung merah. Pisang-pisang sudah pada dicuri bocah kampung. Si pemilik hanya bisa pasrah, sebab arah tumbuh tandan itu keluar tembok. Apa yang mencuat keluar dari pekarangan adalah kepunyaan bersama, pikir para bocah.
Di pekarangan sebelah kiri, tali rafia terikat dari satu pancang bambu ke pancang bambu lain. Pekarangan itu basah karena pakaian yang menggantung masih suka meludah. Sebelahnya ada kasur yang ikut dijemur. Pun banyak meludah. Barangkali terlalu jijik karena menyerap pesing semalaman. Terlihat seorang bocah menyendiri di bawah pohon ketapang. Di naungan tajuk kepatang yang rindang hingga melebar ke pekarangan sebelah, bocah itu menangis sambil memegangi pipinya. Ritme napas kacau, sesenggukan yang umum bagi anak kecil habis kena marah orang tua. Kepala Wayan tiba-tiba nongol dan menceletuk, “Hi-hi-hi. Kamu ngompol, ya?”
Si bocah menoleh sekilas, tangisnya menjadi aneh—kejer sambil mengeram. Tatapannya pun galak. Ia mengais segenggam pasir lalu dilempar ke arah Wayan. Sia-sia, lemparannya bahkan tidak berhasil melewati pagar beton. Boleh jadi tenaga bocah itu sudah terkuras habis. Yang mengejek langsung cekikikan, terpingkal-pingkal di atas becak. Sebenarnya tidak ada maksud untuk menertawai bocah itu, tetapi wajahnya telanjur mirip badut: mata dan hidung merah. Lucu bagi Wayan.
Berseragam putih-merah. Ini pakaian baru, pikir Wayan. Namun sayang, tidak boleh digunakan selama di rumah. Bocah itu membungkuk, kaos kaki dinaikkan tinggi-tinggi. Bisa jadi bocah itu mau pamer. “Lihat, kaos kakiku, sepatuku, bajuku, semuanya baru!” Dimaklumkan saja, toh bocah selalu senang dengan apa yang baru dimilikinya. Entah ternyata tas, sepatu, atau seragam bekas, toh tetap dianggap baru. Pintar-pintar para orang tua memolesnya hingga terlihat apik.
Namun, yang dimiliki Wayan benar-benar baru. Sebagai hadiah ulang tahun Wayan sekaligus menyambutnya bersekolah. Seumur-umur, Muhsan belum pernah merasakan duduk di bangku sambil mendengarkan ocehan guru. Kemampuan membaca, menulis, dan menghitung adalah berkat ajaran ibunya. Perjuangan yang tumpah darah. Tak jarang dipukul pring atau digepuk sapu sebab menolak belajar. Sebenarnya bersekolah adalah cita-cita Muhsan, tetapi sudah kadung, mau diapakan lagi? Yang bisa dilakukannya saat ini hanya meneruskan cita-cita sederhana itu kepada Wayan. Membayang tiap pulang sekolah bocah kesayangan akan menceritakan pengalamannya, ini sudah cukup bagi Muhsan.
Tukang-tukang becak pada kelihatan mengantar bocah, dibarengi sang ibu atau naik berdua dengan saudara—barangkali teman. Banyak yang bersepeda, pun beramai-ramai jalan kaki. Wayan segera membuka tasnya, mengambil buku tulis lalu membolak-balikkannya. Masih kosong, tentu. Entah apa yang dipikirkan bocah itu, tetapi tingkahnya berhasil merajut senyum di wajah Muhsan.
Bocah berseragam kian banyak terlihat. Menuju arah yang sama hingga menggerombol di satu tempat. Di salah satu sisi, para orang tua memadati ruang kelas; mendampingi anak-anaknya yang pada ketakutan. Mengapa kau duduk di sebelahku? Mengapa kau memelototiku? Siapa kau? Siapa dia, dia, dan dia? Ayah dan ibu akan tetap di sini, kan? Pertanyaan itulah yang memasygulkan hati bocah-bocah. Beberapa terisak dengan alasan tidak jelas. Barangkali merasa sendirian sebab orang tuanya digusur seorang guru.
Ayahnya ikut-ikutan keluar, Wayan tidak terlalu risau. Atmosfer kelas memang baru untuknya, tetapi tidak mempan karena saban hari ia sering ditinggal sendiri. Malah ia keheranan, “Kenapa mereka menangis, bukankah orang tua mereka sedang melihati mereka dari luar situ? Lalu, kekuatan apa yang dipunyai orang ini? Lihat tadi, menyuruh keluar dan semua orang keluar. Apakah karena suaranya yang enak di telinga? Mungkin. Atau apakah orang ini ternyata polisi? Ah, bisa saja. Toh, Ayah paling takut sama polisi. Hi-hi-hi.”
Muhsan tak berkedip. Dari balik terali kayu pandangan lelaki itu tetap sama. Cemas seperti orang-orang di sekeliling. Namun cemasnya berbeda. Bukan cemas perihal sang anak, melainkan sosok perempuan yang sedang berbicara di depan kelas. Keringat dingin mengalir di pelipis, leher tiba-tiba menegang, padahal hendak dialihkan pandangannya. Muhsan gelagapan, dipaksa memerhatikan guru Wayan. Ganti menelan ludah, suara perempuan itu telah membangkitkan ingatan mengerikan: sang istri.
“Andaikata Asti tidak kepincut, boleh jadi suaranya masih dapat kudengar hingga sekarang. Yang menyenangkan hati bak mendengar grojokan Desa Baruh. Ah, Pangeranku. Semisal Kastini tidak kunikahi, tak perlulah dia hidup serbasusah. Bolehlah hidup enak dengan orang lain. Ah, Gustiku. Seumpama dia tidak kukawini, tidak bakalan dia mengerang kena sakit bersalin. Apa tah salah dia? Kenapa Engkau tidak ambil nyawaku saja. Owalah, Muhsan ….“
Lelaki itu berjalan sempoyongan lalu duduk di pot semen. Napas masih terputus-putus. Kematian sang istri sudah terpatri sebagai kesalahannya. Istrinya meninggal mungkin karena tak kuat dengan penyakit dari sang suami. “Benarlah perkataan warga, apalah aku laki-laki macam anjing sekaligus tainya. Dasar pembunuh …. Oh, Astiku!”
Boleh jadi inilah sebab Muhsan menakuti polisi. Ia telah menempeli julukan pembunuh di nama sendiri. Bisa dikatakan ini kehendak Sang Empunya Hidup, tetapi bukankah semuanya berawal karena Muhsan? Padahal Muhsan paling tahu kondisi Asti, malah dipaksanya melahirkan Wayan. Erangan dari bilik bambu, napas berat yang melangkahi pintu, hingga tangisan bayi yang menggemparkan seisi rumah, bukankah itu sebab perbuatan Muhsan? Manakala istrinya meninggal, apa dapat disangkal Muhsan tidak bersangkut paut? Jelas ada. Dan inilah yang sebenarnya mengalutkan pikiran lelaki itu.
“Itu!” Wayan berteriak.
Yang diteriaki tidak merespons.
“Ayahnya Wayan, betul?”
Muhsan tersentak, lamunannya langsung ambyar. Suara lembut berputar-putar seolah telinga dikerubung nyamuk. Lelaki itu menelan ludah sebelum mulutnya mulai membuka. “I—iya, benar.”
Lanjut melongok-longok. Entah berapa lama termenung di bawah tajuk pohon mangga, Muhsan tak sadar orang-orang sudah pada pulang. Lelaki itu kini cengar-cengir tidak jelas. “He-he. Maaf, sudah merepotkan Bu Guru. Tapi sekolahnya kok cepat ya?”
“Maklum, Pak, hari pertama sekolah. Toh masih kelas satu.”
“Ya—ya sudah, Bu, terima kasih. Kita pulang dulu.”
Memandangi sepasang ayah dan anak, perempuan itu tersenyum lebar-lebar. Bahkan hampir terkikik mendengar ocehan mereka.
“Ayah takut ya sama Bu Guru?”