Berdiri sambil memegangi kap becak, Wayan berharap menemukan bocah menangis di bawah pohon ketapang. Namun pagi itu begitu lengang, hanya terdengar burung pipit yang berkicau di kabel listrik. Tengok, ada dua pipit yang berkejar-kejaran. Melompat ke kabel satu ke kabel yang lain, berkicau, lalu berdempet-dempetan. Bak sepasang kekasih yang masih ranum. Salah seekor terbang, satunya masih asyik berkicau. Sadar senandungnya ternyata tak didengar, ia pun terbang menyusul sang kekasih.
Mengekor kedua burung itu, pandangan Wayan tiba-tiba tertutup dedaunan pohon bidara. Ia lantas mendengus sebal, mengomeli si pohon. “Kamu punya ranting kok enggak bagus. Pating semrawut bikin orang enggak bisa lihat burung.”
“Oalah, le, pohon enggak tahu apa-apa kok dimarah-marahi.”
Wayan menjawab dengan terkikik. Bocah itu kembali duduk, kakinya diayun-ayunkan. Kepalanya kini menggeleng-geleng, melihat kiri-kanan dengan cepat. “Ayah berhenti! Itu, ke sana! Ayo putar.”
“Kamu mau ke mana? Sekolah lewat sini. Wah, pengin bolos sekolah ya? Baru kelas satu sudah senang bolos.”
“Enggak! Itu.” Wayan menunjuk-nunjuk ke belakang, tetapi Muhsan tak paham apa yang ditunjuknya. “Ke sana sebentar. Putar balik!”
“He, mencak-mencaknya berhenti. Nanti becak Ayah rusak bagaimana?”
“Beli baru!”
“Oalah, le, enak betul kalau ngomong ….”
“Hi-hi-hi. Pokoknya ke sana dulu.”
Muhsan menurut saja meski tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. “Mau ke mana ini? Ke pasar? Buat apa Wayan mau ke pasar? Jajan kan bisa di sekolah.” Lelaki itu bergumam-gumam.
“Setop!” teriak Wayan, mengagetkan orang-orang.
“Hus—”
“Wayan, enggak boleh teriak-teriak di tempat umum,” sela seseorang.
Muhsan spontan menoleh, guru Wayan rupanya. “Bilang yang jelas toh, le. Jangan tunjuk-tunjuk saja, Ayah mana ngerti. Nunggu angkutan, Bu?”
“Iya, Pak. Dari tadi enggak lewat-lewat.”
“Bareng kita!”
“Eh, enggak usah. Jadi ngerepotin nanti.”
“Bareng kita saja, Bu Guru. Bocah satu ini bakal rewel kalau enggak dituruti. Bisa gawat kalau enggak mau sekolah.”
Wayan menarik-narik tangan gurunya, Muhsan hanya tersenyum. Mau tidak mau perempuan itu terpaksa menumpang.
“Aduh, Pak, jangan semua-semua dituruti. Nanti sekali enggak dibolehi malah bandel.”
“Bagaimana lagi, Bu, wong Wayan ini harta saya satu-satunya.”
Perempuan itu tersenyum lalu membelai rambut Wayan.
Tak pernah terlihat Wayan begitu senang. Sepanjang perjalanan sang bocah asyik mengobrol dan cekikikan bersama sang guru. Entahlah, perempuan itu kiranya menjadi sosok ibu. Atau karena profesinya adalah guru sehingga terbiasa dengan anak-anak? Bisa juga memang kepribadiannya yang menyukai anak-anak. Namun semua adalah kebolehjadian, Muhsan tidak bisa asal menyimpulkan.
Ketika sebuah mobil menyalip, terciptalah embusan angin yang cukup kuat. Rambut pendek perempuan itu berkibaran, secara tidak sengaja menampilkan tengkuknya yang putih. Rambut disisir dengan jari, diliukkan ke belakang telinga. Muhsan yang memerhatikan dirinya dari belakang kini menahan napas sambil menelan ludah. Pikiran-pikiran aneh pun muncul, lelaki itu mendadak gugu.
Menjadi lebih banyak diam, Muhsan asyik memerhatikan kedekatan sang guru dan cah bagus-nya. Suara yang merdu di telinga dan senyum yang enak di mata. Dua hal itu membawa Muhsan kepada kenangan bersama Asti. Diandai-andaikan sosok perempuan saat ini adalah Asti, bukankah itu sudah menjadi surga dunia? Ah, entahlah, pikiran abstrak Muhsan menyangkalnya. Andai-mengandai hanyalah bualan yang tak mungkin terjadi. Memori yang lain pun muncul, Muhsan kali ini menahan napasnya lebih lama. Dada berdegup lebih kencang. Ia sadar, ia dipaksa untuk nrima. Khayal-mengkhayal dibuang jauh-jauh, sebab baginya, itu sama saja merendahkan rancangan Sang Penentu Takdir.
Namun melihat Wayan begitu akrab dengan sosok perempuan itu, Muhsan kembali masygul. Apakah Wayan benar-benar menginginkan seorang ibu? Bukankah selama ini Wayan tak pernah melihat ibunya? Barang dari foto pun tidak pernah. Bukankah selama ini mata Wayan selalu berbinar-binar ketika melihat temannya bermain bersama sang ibu? Memang Wayan tak pernah berterus terang, tetapi bukankah dari sikapnya sudah ketahuan? Dan bukankah kedekatannya dengan sang guru menjadi pertanda bahwa sosok itulah yang diingini Wayan? Muhsan menggeleng, ia tak berani menjawab.
“Sudah berapa lama jadi tukang becak, Pak?” celetuk Bu Guru.
“Saya? Lumayan, mungkin sekitar empat-lima bulanlah.”
“Enggak takut becak kena jaring petugas? Akhir-akhir ini kan razia makin marak.”
“Kalau ditanya takut, aslinya ya takut. Tapi buat nyambung hidup semua harus dilakoni. He-he. Bu Guru naik becak apa enggak takut? Barangkali di jalan dicegat petugas, bakalan kejar-kejaran ini.”
“Ah, saya percaya saja. Toh, pinggiran kota begini masih jarang penggerebekan.”
“Memang tiap hari naik kendaraan umum? Enggak diantar?”