“Hom pim pah alaihom gambreng!”
“Gam—breng!”
“Gam—breng!”
“Ha, kau jadi! Hi-hi-hi.”
Si Kuncung bergeming, matanya menteleng, mengarah pada semua telapak tangan. Hitam, hitam, dan hitam, terkecuali dirinya: putih. Rambut kecokelatan yang tak seberapa tebal diacak-acak. Ia terlihat sebal dan heran kenapa dirinya selalu sial beradu hom pim pah. Bermain petak umpet, kejar-kejaran, atau apapun yang menggunakan hom pim pah, dia selalu kalah. “Ah, aku memang payah atau mereka main curang? Tak tahulah, tapi yang jelas permainan gundu serahkan padaku,” gumamnya mencoba membanggakan diri.
Menghadap ke tembok sambil menghitung mundur angka puluhan, bocah-bocah asyik berlarian. Beberapa merunduk-runduk ke balik tumpukan kayu, naik ke atas pohon beringin, ada pula yang masuk kamar mandi. Tidak ada yang masuk rumah atau keluar asrama sebab bakal dianggap pupuk bawang.
“Tiga, dua, satu!” teriak si Kuncung. Menoleh-noleh sebentar, jelas tidak ada tanda keberadaan bocah-bocah lanang. Di pekarangan hanya terlihat gadis-gadis yang melompat-lompat di rentengan karet gelang dan melempat-lempar gacuk berupa pecahan genting atau batu pipih. Pandangan dipindah, tepatnya mengarah ke seseorang pria dewasa. Ia menggaruk pipinya, berasa aneh melihat pria itu membaca koran.
“Baca korannya kok begitu, Pak?”
“Gitu bagaimana?” Juhari sedikit menurunkan korannya.
“Oh, tidak jadi. He-he.”
Belum tiga langkah, si Kuncung tiba-tiba berbalik dan meloncat. “Kena kau!”
“Ah! Bapak sih!”
“Kok nyalahin Bapak. Wong si Kuncung sudah mau pergi, kamu malah cengengesan. Ya ketahuan.”
Si Kuncung terkekeh-kekeh. “Padahal kau sembunyi sudah bagus.”
“Ah!” Bocah turun dari pangkuan ayahnya, berjalan ke tempat awal sembari menendang-nendang kerikil.
Dari atas pohon beringin Wayan melihat bocah-bocah kampung sekitar, beramai-ramai pergi ke arah lapangan. Wayan lantas menengok ke bawah, kaki meraih dahan dan tangan memegangi akar gantung sang beringin.
“He, Wayan, kau mau ke mana?”
“Main bola!”
“Terus ini bagaimana?”
“Pokoknya main bola!”
Bocah itu mengatupkan bibir rapat-rapat, menahan gemas terhadap Wayan. Ia pun teringat pernah suatu kali bermain petak umpet dan giliran Wayan yang jadi, ditunggu-tunggu hingga lama ternyata Wayan menghilang. Wayan dibawa kabur orang bertato, dugaan mereka waktu itu. Petang pukul lima, Wayan ditemukan asyik bermain air di kamar mandi. Bocah itu kini paham, Wayan tidak bisa fokus.
Ia pun ikut menengok ke bawah. Dipandanginya sekitar lalu bergumam, “Daripada cuma mematung di sini dan dianggap monyet sama anak gadis, mending aku main bola juga.”
Begitulah kedua bocah itu meninggalkan Asrama Roestam dan bergabung bersama bocah-bocah kampung sekitar. Sandal jepit dijadikan gawang. Bola plastik ditendang-tendang. Umpan sana umpan sini, rebut sana rebut sini, dan teriak sana teriak sini. Lapangan pasir riuh oleh bocah-bocah. Beberapa kali bersitegang karena bermain kasar. Sungguhpun tidak ada aturan yang jelas mengenai pelanggaran. Pihak yang kalah pun pura-pura terjegal atau terdorong, menimbulkan kekisruhan yang tak berarti.
Sedang para bocah merundingkan penalti, Wayan berlari keluar lapangan sambil berteriak, “Layangan putus!”
Penalti tidak jadi dilakukan, permainan bola pun tiba-tiba usai. Bocah-bocah pada berlarian mengejar layang-layang sembari mendongak-dongak. Pengejaran yang gila, semua berebut untuk satu kertas tipis berbentuk persegi. Beberapa bertubrukan dan jatuh karena asyik melihat arah terbang layangan. Seseorang menabrak tiang listrik, bangkit berdiri, dan kembali berlari dengan muka yang mbrabak. Tidak peduli siku dan lutut yang lecet, mereka terus berlari. Hingga makin riuh pengejaran layang-layang itu; remaja dan bapak-bapak pun ikut-ikutan. Galah dibawa, jaga-jaga manakala layangan tersangkut di tiang listrik atau pohon.
Jauh mengejar, ternyata layangan itu hinggap di pohon mangga. Para bocah mendengus sebal. Remaja-remaja pun duduk di pinggir jalan untuk melepas penat. Giliran bapak-bapak yang membawa galah bersaing. Galah bersipukul dan bersidorong. Ranting dan daun mulai banyak berjatuhan, tetapi adu galah itu belum juga usai. Ketika seseorang hampir berhasil menggaet layangan, galah-galah yang lain langsung menyerbu dan hancurlah benda tipis itu. Semua mendadak melongo, memikirkan betapa tolol aksi brutal orang dewasa.
“Wis, wis … mlayu adoh-adoh jebule layangan’e suwek,” ujar seorang bocah.
“Wis gedhe kok melu-melu nguber layangan.”