Karat Rangka Karat Nyawa

Neo Hernando
Chapter #12

Bab 12

Menyusur jalanan kota, tidak ada tempat aman untuk mengetem terlalu lama. Pembecak harus waspada dan cekatan agar tidak melongo saat becak diangkut. Lebih-lebih tidak kaget untuk mengganti rugi kepada tauke. Hidup bakal menanggung utang puluhan ribu, sedangkan pemasukan saja tidak punya dan hidup masih sempoyongan. Ah, barangkali dunia hendak melawak. Ya, boleh jadi begitu. Namun lawakannya tidak lucu, malah bikin hidup makin rancu.

Apakah opsi meninggalkan dunia perbecakan adalah yang terbaik? Tidak bagi sebagian besar pembecak. Mereka malah menyangsikan berjualan sayur keliling, menjadi penarik mikrolet dan keneknya, atau montir bakal lebih baik daripada membecak. Apalagi balik menguli atau membajak sawah milik cukong desa. Ini sama halnya beternak kebodohan. Menjadi tukang becak saja hidup pas-pasan, malah balik pekerjaan semula. Ambyarlah hidup anak-istri.

Di sisi lain, tidak bisa dibilang sedikit pembecak yang beralih profesi sebab melahap kail si Pemancing. Selama alih profesi mereka diberi semacam sangu sebagai ganti penghasilan sehari-hari. Tergantung pekerjaan macam apa yang dipilih, lama pelatihannya pun berbeda. Pelatihan menjadi penjual sayur keliling tidaklah sama dengan montir, jelas dan wajar. Di akhir kursus mantan pembecak mendapat modal untuk memulai bisnis.

Pagi hari terlihat sayur-mayur diborong, satu ikat dibagi menjadi dua sampai empat lalu dilego kembali dengan harga yang sama. Tampak curang dan licik, tetapi mereka telah mendapat ilmu bahwa selama tawar-menawar sukses semua adalah sah. Bengkel-bengkel kecil berdiri di sudut jalan. Ada yang menggabungkan modal dan membuat bengkel yang lebih besar. Beberapa menyimpan uang itu lalu ikut orang. Bajaj, ojek, dan helicak pun makin berjaya, secara tidak langsung menggencet ruang gerak becak.

Kesempatan emas bagi penarik angkutan-angkutan umum, tarif dinaikkan dan penghasilan pun makin lancar. Dengung mahalnya ongkos berhamburan ke mana-mana. Memang disengaja dengan alasan becak mulai jarang, yang tidak kuat berjalan jauh terpaksa mengeringkan kantong. Tidak sepakat silakan jalan kaki. Bilamana sepakat dengan senang hati diantarkan, tetapi urusan sampai tepat di depan rumah beda perkara. Alasannya simpel: jalanan tidak cukup lebar. Dan ini menjadi keuntungan lebih untuk tukang ojek, ongkos tinggi karena bisa menyelinap di gang-gang sempit.

Sejatinya becak belumlah redup, mereka hanya berputar-putar menghindari operasi tak wajar pihak berwenang. Pangkalan-pangkalan becak sepi dan hanya ramai di jam-jam tertentu, tetapi tiap kali ditemui pastilah beda muka pembecaknya. Ini menjadi bukti bahwa masih banyak yang bertahan hidup dengan kendaraan kayuh itu. Mereka seolah atau memang di-seolah-olah-kan hilang? Entahlah, siapa yang tahu?

Kantor kelurahan dan kecamatan beberapa kali terlihat gaduh oleh sorak-sorai tukang becak. Hadir beramai-ramai, puluhan jumlahnya, berteriak agar mencabut keputusan yang memenggal nasib yang sebenarnya sudah buntung. Lurah atau camat bersangkutan akan segera bertindak, memberi pengertian kepada para pedemo. Akan dikatakan bahwa aspirasi mereka ditampung untuk dibicarakan lebih lanjut kepada Pak Walikota. Apabila mentok, digunakanlah tipu daya. Seseorang akan berpura-pura sebagai sipil dan memberi tahu bahwa petugas kamtib menuju ke arah demo kecil-kecilan itu. Jadilah massa membubarkan diri, takut gatal-gatal.

Dengan kepala hampir meledak, Muhsan mengayuh becaknya lambat. Terlintas masalah tukang becak, teringat perkataan Rustam, dan terpikir keinginan Wayan. Semuanya itu menyatu, campur aduk seperti adonan roti goreng. Apakah di tengah kesemrawutan ini, ia diharuskan tetap berprasangka baik? Entahlah, lelaki itu mulai tak yakin akan pilihannya sendiri. Apakah dirinya bakal dibayang-bayangi modernitas dunia? Pekerjaan bisa saja digantikan mesin, tetapi pikiran manusia tidak dapat sekaku rangkaian logam. Tidak ada tombol untuk menghidup-matikan manusia. Sekalipun ada, hanya Tuhan yang memilikinya.

Bilamana terkabul, bolehlah Muhsan memiliki satu tombol ajaib. Inginnya menghentikan aliran listrik dalam jala-jala otak. Akhir-akhir ini entah kenapa benaknya terlampau sering korslet. Khususnya perkara anak semata wayang. Bocah itu menginginkan ibu, Ririn namanya, tetapi apalah Muhsan sehingga layak memiliki Ririn? Apakah seorang pembecak pantas bersanding dengan seorang terpelajar? Lagian ia sudah beranak satu dan kini menduda. Tubuh pun kurus kering macam batang lidi, dekil mirip bayung. Memakai topi ember krem dan handuk kecil lusuh, pantaslah menjaga sawah. Inilah kegilaan yang sebenarnya menghantui Muhsan.

Lalu, bukankah harapan si Lugu adalah harapan Muhsan juga? Ia selalu menjawab tidak tahu, tetapi toh pada akhirnya berusaha mewujudkan harapan itu. Pakaian sedikit demi sedikit dirapikan. Memang tidak seperti pegawai kantor yang berkemeja dengan taburan minyak wangi, ia hanya berkaos oblong bersih yang menunjukkan kesederhanaan. Rambut mulai disisir, tidak aneh-aneh hingga klimis bak rambut pejabat atau bahkan amburadul seperti rambut Tambiyo. Handuk pun dicuci sehabis kerja, biar bersih dan tidak dianggap kopros. Namun ada hal yang tak dapat dirapikan, pikiran dan sikap. Ia masih bengap bak penderita gagap, pikiran amburadul berasa rendah diri. Apakah sebetulnya begitu yang terlihat oleh Ririn? Bukan, ini bukan pertanyaan yang tepat. Koreksinya: apakah sesungguhnya Muhsan menyenangi Ririn?

Tak jarang rambut pendek Ririn berkibaran di pandangan Muhsan, bahkan bisa dibilang tiap-tiap hari melihat keelokan itu. Bibir tipis tanpa pewarna gincu, melengkung indah dengan merah alami. Namun, apabila dibandingkan, bukankah hal ini juga tampak pada diri Kastini? Muhsan menelan ludah, sangsi atas eksistensi perempuan di pikiran. Pedal berhenti, ia mendadak gemetaran. “Bisa-bisa Ririn bernasib naas seperti Kastini,” gumamnya.

Pedal lanjut dikayuh, entah ke mana Muhsan tak sadar. Lihatlah, bola matanya hitam dan kosong. Ia hanyut dalam lamunan, terlelap dalam lautan pikiran yang ganas. Muhsan tidak mau, bahkan tidak mampu mengakui bahwa semua lamunannya adalah kebolehjadian, sesuatu yang tidak pasti. Namun begitulah Muhsan, lelaki yang hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bisa jadi ia terjerat trauma tuduhan warga Desa Baruh. Anak seorang perusuh negara yang sah. Entahlah, bukankah ini juga kebolehjadian belaka?

“He, kamu cepat berhenti dan jangan coba-coba melawan!” teriak seseorang, tegas dan penuh ancaman.

Orang itu berteriak lagi, tetapi Muhsan masih termenung. Becak tetap dikayuh meski selambat orang lari pagi. Tiba-tiba terdengar benturan keras. Tanpa diduga Muhsan sudah tersungkur di aspal, kepala terantuk trotoar hingga berdarah. Pandangan menghitam selama hitungan detik. Sadar-sadar becaknya sudah terjungkal, roda belakang berputar aneh sebab penyok berat. Muhsan masih bengap, tolah-toleh layaknya orang tolol. Orang-orang berseragam pada turun dari pikap, mengerubungi Muhsan beserta becaknya.

“Ada apa ini? Saya salah apa sampai ditabrak begini?”

“Kamu jangan pura-pura tolol. Saya sudah teriak-teriak supaya kamu berhenti, salah sendiri mencoba kabur.”

Memandangi sekitar, lelaki itu tersadar penabrakan gila ini pasal melamun. “Ta-tapi tidak perlu sampai ditabrak juga, Pak! Bagaimana kalau kaki atau lengan saya patah? Bapak-bapak mau ganti rugi?”

“Buktinya kamu cuma luka ringan.”

Lihat selengkapnya