Seseorang menggenjot becak dengan terburu-buru hingga keringat membasahi punggung. Namun ia tidak lari dari kejaran aparat, melainkan tergesa-gesa karena ketinggalan aksi di depan gedung putih. Diparkirkannya becak di ujung jalan, hati-hati supaya tampak sejajar dengan becak lain. Papan kayu segera disambar, kemudian berlari di sepanjang trotoar. Memang tidak tampak kawan-kawannya, tetapi kedengaran sorak-sorai mereka dari kejauhan. Lelaki itu mengangkat papan kayunya dan berteriak, “Hidup pembecak!”
Tersengal-sengal di belokan, tenaga lelaki itu mendadak pulih. Jantung terpacu begitu hebat, dahsyat, dan sengit. Bahkan lupa bernapas karenanya. Boleh jadi disebabkan oleh kobaran api yang menyala-nyala, yakni semangat para pejuang kehidupan. Mereka-mereka yang ditimbang dengan timpang, mereka-mereka yang cemberut masalah perut, dan mereka-mereka yang tetap membanting tulang meski rangka sudah hancur lebur.
Di paling depan, becak-becak rongsokan digelar dengan apik sebagai simbol becak tak bakalan pernah mati. Namun itu agaknya simbol belaka, yang menjadi sebenarnya menjadi simbol adalah para pembecak itu sendiri. Lihatlah, amatilah, dan pikirkanlah, apakah wajah-wajah berkeriput itu mengatakan, “Aku bahagia!”? Atau selubung kulit sawo matang mereka mengucapkan, “Aku kenyang!”? Pun apakah ratusan tatapan sayu menuturkan, “Hidupku berkelimpahan!”? Entahlah, kiranya dibutuhkan kepekaan batin untuk merasakannya.
Berteriak dengan nyaring, Muhsan dibalas kepalan tangan dan papan kayu yang diangkat tinggi-tinggi. Ia bisa melihat jelas tulisan cat putih di papan-papan kayu itu. “BECAK KENDARAAN BEBAS POLUSI”, “BECAK TRANSPORTASI TRADISIONAL”, “MENGHANCURKAN BECAK BERARTI MEMBUNUH RAKYAT”, “BECAK MENGAYUH HIDUP ORANG KECIL”, dan masih banyak lagi. Dan fakta bahwa yang membawa papan kayu itu bisa membacanya atau tidak adalah perkara lain. Mereka paham, yang duduk di singgasana tidak mungkin buta huruf.
“Kami bukan simbol kebiadaban, becak simbol kemanusiaan. Betul?”
“Betul!!!”
“Jangan buat masyarakat mencak-mencak, hidup sudah sulit dan mereka butuh becak. Betul?”
“Betul!!!”
“Kita menarik becak untuk mencari uang dengan halal, kita bukan orang mata duitan yang main gerebek sekadar cari kapital. Betul?”
“Betul!!!”
“Becak dianggap kendaraan kumuh, nyatanya masih masyarakat tinggal di daerah geluh! Mata bisa menghakimi yang marginal, faktanya yang pusat tidak pernah kena ganjal! Keluar Pak Walikota, kami kaum pinggiran menuntut pembenaran!”
Kerumunan bersorak, hampir merangsek masuk halaman gedung pemerintahan. Namun urung karena aparat menenteng perlengkapannya. Muhsan mengelap keringat dengan hancuk kecil, terlihat kotor oleh bolot. Topi ember pun dipakai kembali agar keringat tak mudah mengguyur. Ia tak mengira bisa berdiri di depan himpunan tukang becak ini. Berawal dari mana ia sendiri kurang yakin, tetapi bisa jadi dikarenakan perkara aparat dan insentif. Muhsan menyebarluaskan berita simpang-siur itu, menyulut emosi pembecak, dan berkoar-koar bahwa pembecak harus membela diri.
Sememangnya ia sangsi menjadi pemimpin pedemo. Apalah dirinya yang hanya seorang pembecak biasa, apalagi habis kena gatal-gatal dan pelipis masih belum garing. Apakah karena pikirannya nyentrik bahkan dianggap gila bagi sebagian orang? Apakah bekas luka—sebab aparat edan—sengaja dipamerkan di depan khalayak ramai? Agar mereka tahu kebuasan raja kepada kaum-kaum lemah. Atau bahkan keduanya? Atau sebab-sebab lain? Mungkin. Dengarkanlah seruannya, tengoklah tubuhnya, benar-benar menunjukkan kaum lemah yang piawai berkata-kata.
Pun keheranan, kenapa tidak tauke-tauke becak saja yang hakikatnya terancam bangkrut? Maksudnya, merekalah yang sehari-hari berpendapatan lebih dari dua puluh ribu, bukankah masuk akal manakala mereka yang memimpin demo? Apakah hasil menyewakan becak sudah lebih dari cukup untuk membangun bisnis baru? Atau jangan-jangan sudah memasrahkan diri dan mengharapkan keajaiban dari para anak buahnya? Mungkin saja mereka tidak ingin tahu-menahu tentang demonstrasi di depan balai pemerintahan? Jadi, bilamana terjadi kerusuhan, bukan mereka yang tertuduh. Mereka hanya angkat tangan dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Entahlah, tidak ada prasangka macam itu di benak Muhsan dan kawan-kawannya.
Jalanan aspal yang banjir manusia, makin riuh. Terik dari sang terang menukik jatuh tepat di atas kepala. Dari depan sana, Muhsan dapat melihat kawan-kawannya kehausan. Bukan haus minta diberi air, tetapi haus dicekoki keadilan. Mereka hanya tukang becak, sehari-hari mendayung pedal untuk mengantar penumpang. Mereka bukanlah penggebuk bayaran, tukang thithil duit rakyat, lebih-lebih kaum lampu merah yang jelas-jelas tidak manusiawi di mata masyarakat.
“Kami memang rabun hukum. Sekolah tidak tinggi bahkan ada yang tidak bersekolah, tapi kita bukan kaum sungkum. Kaum yang bisanya tersungkur,” teriak Muhsan.
Seseorang tiba-tiba berdiri di samping Muhsan. Tangannya terangkat sambil mengepal kuat. “Yang di dalam mengibul, kita yang amburadul. Cepat keluar dan hadapi kami!”
“Keluar sekarang, Pak! Bapak pikir kita akan bubar? Beginilah kalau ngawur bikin peraturan, kalau yang bersangkutan marah jadilah cuma ngendok dan mengirim pasukan. Apa Anda tidak punya malu? Oh, barangkali lidah Anda terkelu karena sadar hidup cuma jadi benalu?”
“Melihat wajahnya di cermin saja tidak kuat, apalagi berhadapan dengan kita!”
“Kita bukan lagi main petak umpet, Pak Walikota, apa jangan-jangan Anda lari naik seratus mikrolet itu?”