Karat Rangka Karat Nyawa

Neo Hernando
Chapter #14

Bab 14

Membungkuk di pojokan sel, Muhsan acapkali bertanya-tanya, apa yang salah dari tindakannya? Apakah menyuarakan kebenaran adalah terlarang di negeri ini? Manakala rakyat berdengung pasal kritis, mengapa pemerintah jadi dramatis? Kepala disandarkan ke dinding, menutup mata sambil bergumam, “Apakah masuk akal kesalahan orang dapat ditanggungkan kepada yang lain?”

Sepintas memori beberapa waktu lalu hadir dalam benak lelaki itu, si Caping dan lima pembecak diboyong ke dalam ruang pembasmian. Entah kenapa ia ikut dikelilingi belasan orang berseragam berwajah garang.

“Pasti kamu yang memengaruhi mereka semua, mengaku!”

“Sa—saya tidak tahu apa-apa. Yang saya tahu semua pembecak ikut berdemo.”

“Pasti sebelum itu,” bisik seorang tentara.

“Kamu benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”

“Bagaimana saya bisa tahu?” Muhsan menengok sebentar kepada kawan-kawannya. “Wong saya sedang bermusyawarah dengan Pak Walikota.”

Sang Komandan berbalik, menuju keenam pembecak. “Kenapa kalian lakukan itu? Dihasut sama dia?”

“Ka—kami kesal, Pak. Masakan kami dipentungi, becak dirampas. Iya kalau dapat imbalan, ini sudah tidak dapat malah disuruh ganti rugi.”

“Kamu,” kata sang Komandan sambil menunjuk si Caping.

“Becak—becak saya pernah diangkut. Saya—saya tidak terima kalau kawan saya juga kena razia.”

“Tidak ada yang mengaku rupanya. Atau jangan-jangan kalian juga PKI?” Mengambil tongkat dari anak buahnya, lalu sang Komandan berjalan memutar di hadapan keenam pembecak itu. Melihat para tersangka hanya menunduk, tangannya berayun-ayun di udara. “Masih belum mau buka mulut?”

Tiba-tiba benturan keras memenuhi seisi ruangan, setelahnya menyisakan raungan manusia di lantai. Para pelaku sejenak berhenti bernapas, mereka tak mengira tentara itu benar-benar bersikap garang. Pun mereka keheranan kenapa Muhsan yang dipentung, padahal merekalah yang mengeroyok polisi. Lagi-lagi tersentak, sang Komandan secara brutal membanting tongkat ke meja.

“Mengaku saja, kalian sudah diracuni paham bobrok dari orang ini.”

“A—apa kita akan dibebaskan?” ucap salah seorang lirih.

Sang komandan terkekeh. Ia mendorong kepala pembecak itu dengan tongkat. “Orang sudah membunuh kok dibebaskan begitu saja, tapi setidaknya nasib kalian tidak sama dengan orang yang terkapar itu.”

Kelopak mata menjadi sayu, alis pun menurun sebagai tanda bersedih. Apalah yang telah diperbuat Muhsan? tanya mereka pada hati masing-masing. Si Caping, kawan setauke Muhsan, bergeming. Dicarinya tanda-tanda PKI dalam diri Muhsan. Namun, makin dipikir ia malah menjumpai seorang lelaki sederhana. Seorang pembecak dan memang murni pembecak. Masakan Muhsan seorang PKI? Si Caping menggeleng-geleng, ia tak percaya.

“Maaf, Pak, saya sudah terkena doktrinnya!”

Semua orang di ruangan itu lantas menoleh. Para tentara tersenyum, sedang kawan-kawannya terperangah. Muhsan ditendangi, tetapi ia tetap berusaha mencari sumber suara tadi. Digilir dari kiri ke kanan, hingga ekor matanya mengarah kepada si Caping, tatapannya serasa berteriak, “Bangsat kau!”

Lihat selengkapnya