“Kak Nuga tahu darimana kalau Vandu pelakunya?” Karel akhirnya membuka percakapan.
“Jadi, awalnya karena tadi pagi gue nggak sengaja nabrak Vandu dilorong, gue belok dia lurus. Terus, barang-barang yang dia bawa jadi jatuh semua dan disitu gue lihat polaroid yang isinya itu lo. Jadi langsung aja gue bawa ke kelas lo tadi,” jelas Nuga.
Karel membentuk bibirnya menyerupai huruf o sambil mengangguk. “Kalau si Mbah Agung? Beneran Mbah Kak Nuga ya?”
“Bukan, gue cuma sering ke sini aja,” jawab Nuga lalu kembali menyantap makanannya. "Yang cucunya itu, Joya. Lo kenal Joya 'kan?"
Karel mengangguk, lalu kembali bertanya. “Terus Kak Nuga bisa bahasa sunda. Kak Nuga orang sunda?”
Nuga menggeleng. “Gue bisa karena keseringan ke sini terus lama-lama jadi biasa denger Mbah Agung sekalian minta diajarin Mbah.”
“Oh … terus …,” Karel menggantungkan kalimatnya ketika menyadari Nuga tidak lagi menyantap makanannya melainkan fokus menatap ke arah dirinya. “Eh, gue kebanyakan nanya ya Kak? Sorry.”
Lagi-lagi Nuga menggeleng namun dengan kekehan kecil kali ini. “Nggak apa-apa, kayaknya lo tipe orang yang pengen tahu banyak hal ya?”
Karel terdiam sejenak. Itu artinya maksud Kak Nuga, gue kepo ‘kan?”
“Ya udah, lo mau nanya apa tadi?”
Karel jadi tersadar, tapi sayangnya Karel jadi lupa dengan pertanyaannya sendiri seolah lewat begitu saja. “Oh iya, lupa,” ujar Karel seraya tertawa kecil yang diikuti tawa Nuga.
Cukup lama Karel dan Nuga berbincang di warung Mbah Agung hingga waktu telah menunjukkan pukul 5 sore. Baru kali ini Karel rasakan obrolan ringan yang menyenangkan ditempat senyaman ini, walau kebanyakan Karel yang bertanya sedangkan Nuga bagian menjawab. Tanpa Karel sadari bersama Nuga dia jadi banyak bicara dengan pertanyaan-pertanyaan baru tentang Nuga dan sesekali juga Nuga yang bertanya tentang Karel. Sore ini terasa dibuat untuk sebuah perkenalan Karel dan Nuga.
Dengan hati ringan Karel mengendarai motornya menuju rumah setelah berpisah dengan Nuga yang pergi ke arah sebaliknya. Pemandangan matahari terbenam dengan warna oranye menyala menjadi pendukung suasana hati Karel setidaknya sampai pemandangan itu tertutup akibat ukuran trak yang besar baru saja menyalipnya dan jangan lupakan udara yang tadinya segar berubah menjadi polusi akibat asap hitam yang keluar dari knalpot-nya.
“Ah elah, baru juga jadi anak Indie,” keluh Karel.
*****************
Sabtu sore, Karel kembali datang ke Warung Mbah Agung berharap bisa menemukan Nuga yang beberapa hari ini tidak terlihat batang hidungnya. Rindu? Oh tentu tidak. Karel hanya berusaha mengulik informasi mengenai rivalnya. Joya.
Karel mengetuk-ngetukkan pulpennya pelan diatas meja. Sudah lebih dari setengah jam ia menunggu. Menu kedua pun sudah mulai menghangat. Karel menyomot sepotong kue serabi, sesekali pula ia melirik waspada jika ternyata Nuga ada disini.
“Apa emang nggak ke sini ya?” tanyanya pada diri sendiri.
Karel kemudian membuka halaman buku selanjutnya. Membaca tulisan-tulisan berisi istilah seperti Oseanografi, Penginderaan jarak jauh dan dekat, Atmosfer, El Nina dan El Nino, cara menghitung jarak letak sebuah bangunan yang strategis dan efisien, Hidrologi, jenis-jenis nama bebatuan, jenis-jenis nama awan serta alasan penyebab dan masih banyak lagi. Rasanya sudah lebih dari sepuluh kali Karel membaca tuntas buku itu. Karel jadi sadar, ia seperti dibuat tergila-gila oleh yang namanya Geografi. Tapi, sebelum Karel melamun lebih jauh sebuah suara menyadarkannya.
“Ngapain lo disini?’