“Lo pikir gue nggak lihat lo di depan warung Mang Uhan tadi?”
Kini keduanya duduk di kursi halaman belakang rumah Karel. Karel diam saja, enggan merespon. Hari sudah mulai gelap dan makanan di tangan Karel dipastikan dingin, dan ia juga makin kehilangan selera makannya.
Disisinya Alaska, diam-diam memperhatikan wajah oval gadis disampingnya. Alaska tahu betul ekspresi itu. Karel marah. Tentu saja. Jujur, Alaska memang sangat ingin hubungannya dengan Karel kembali menghangat. Alaska sangat rindu dengan Karel yang dulu. Alaska juga rindu dengan senyum hangat dan wajah ceria yang selalu Karel tunjukkan setiap kali Alaska lihat. Alaska ingin semuanya kembali seperti dulu. Antara dia dan Karel. Alaska kembali memperhatikan sekitarnya, membiarkan sunyi menguasai beberapa saat.
Tiba-tiba Karel beranjak dari kursinya. “Kalau gitu, gue masuk,” katanya memecahkan keheningan.
Alaska mendongak, lalu cepat-cepat menahan jari-jari mungil itu. “Kar,” panggilnya.
Ketika Karel berbalik ke arahnya, barulah Alaska sadar ada yang berbeda dari wajah Karel bersamaan dengan rasa hangat yang mulai menjalar dari tangan mungil yang ia genggam. “Lo sakit?” tanya Alaska kemudian.
Karel melepas genggaman Alaska. “Bukan urusan lo,” balasnya kemudian bersiap hendak melangkah namun limbung.
Melihat itu, dengan cekatan Alaska menggendong Karel. Meski awalnya Karel berontak, tapi tenaga Alaska lebih jauh besar hingga membuatnya tak bisa melawan. Hati-hati Alaska meletakkan tubuh gadis itu ke atas sofa panjang yang berada di ruang tengah. Setelahnya Alaska pergi ke dapur untuk mengambil kotak P3K. Tidak sulit untuk Alaska menemukan kotak itu, pasalnya dari terakhir kali Alaska berkunjung posisi barang-barang yang ada dirumah itu nyaris tidak pernah berubah dari tempatnya.
Tak lama Alaska kembali ke ruang tengah, lalu mengecek suhu menggunakan alat thermometer ke dahi Karel. Tertulis 39 derajat celcius. Kemudian Alaska mengambil sebuah mangkuk berisi air hangat dan satu buah kain handuk tangan untuk mengompresi Karel.
“Lo udah makan?” tanya Alaska kemudian.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. “Karel?” ujar Alaska meminta jawaban.
Karel membuka matanya yang terasa hangat, dengan sisa tenaga ia menggeleng. Alaska membuang napas pelan sambil mengatur rambut yang menutupi wajah pucat gadis itu. Setelah sekian lama, akhirnya Alaska bisa melihat wajah Karel dengan jarak sedekat ini. Mungkin kurang baik mengatakan ini, tapi, Alaska sejujurnya senang bisa kembali dekat dengan Karel. Pasalnya sudah cukup lama, Alaska menantikan saat-saat seperti ini akan datang kepadanya. Tanpa sengaja, netra hitamnya menangkap sebuah kantung plastik yang melekat di tangan Karel. Pelan-pelan Alaska mengambil alih kantung itu dari tangan Karel.
“Lo tunggu disini dulu ya? Gue mau panasin makanan lo sekalian buatin bubur,” ujar Alaska lembut yang dibalas dengan anggukan kecil dari Karel.
Alaska kembali ke dapur untuk memasak, sesekali pula ia kembali ke ruang tengah untuk memastikan kondisi Karel. Setelah kurang lebih 30 menit berlalu, Alaska kembali dengan sebuah mangkuk dan air putih.