Aku mencintaimu, Reva…”
Zaira berdiri mematung di ambang pintu kamar. Gaun putih yang masih utuh menempel di tubuhnya. Putih bersih, tak bernoda. Tapi tidak dengan hatinya.
Di atas tempat tidur, Rayyan terbaring setengah sadar. Wajahnya memerah, napasnya berat dan tak beraturan. Ia menggeliat pelan, lalu menggumam lagi, “Kumohon… jangan pergi…”
Bukan untukku, batin Zaira. Dan bukan namaku yang kau sebut malam ini.
Tangannya mengepal di sisi tubuh. Bukan karena sakit… tapi karena geli. Ironis. Hari ketika semua orang merayakan status baru mereka, Rayyan malah menyebut nama wanita lain.
Ia masuk perlahan, meletakkan buket bunga yang sedari tadi digenggam di meja rias. Lalu melepas anting satu per satu. Senyap. Sebisunya.
Tak ada air mata. Tak ada drama. Hanya hening yang mengendap, menyisakan suara detak jam dinding dan napas laki-laki yang tidak mencintainya.
“Selamat tidur, Rayyan,” gumamnya pelan. “Semoga mimpimu menyenangkan... bersama wanita yang benar-benar kau pilih.”
Zaira berjalan ke balkon kamar. Kota sudah larut malam, tapi pikirannya justru menari-nari. Bisingnya suara-suara di dalam kepalanya mampu mengalahkan sunyi dan sepinya malam.
Ternyata benar apa yang dikatakan ibunya dulu...
Menikah itu bukan soal cinta, tapi kebutuhan.
Dan malam ini, ia resmi menyandang status sebagai istri dari seorang lelaki yang tidak pernah membutuhkannya. Apalagi mencintainya.
*
Esok paginya, Zaira duduk di meja makan, menyesap kopi tanpa gula. Rayyan muncul beberapa menit kemudian, masih dengan mata sembab dan langkah berat.
“Pagi,” gumamnya tanpa menoleh.
“Pagi,” jawab Rayyan. Tenang. Datar. Bahkan tak menuntut.
Zaira mengangkat bahunya, tak peduli. Masih menyesap kopinya.
Rayyan duduk di hadapannya. Menggosok pelipis, lalu mengambil air putih.
“Kemarin... apakah aku mengatakan sesuatu?”
Zaira menggeleng. “Tidak.”
Rayyan mengangguk pelan, lalu menatap Zaira. “Tapi... kalau aku mengatakan sesuatu yang... aneh, jangan dimasukkan ke hati.”
Zaira tersenyum tipis. “Aku tidak pernah memasukkan ke hati untuk hal-hal yang tidak memakai hati.”
Rayyan terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.
“Tenang saja,” lanjut Zaira. “Aku menikah denganmu bukan untuk dicintai."
Ia berdiri, meletakkan cangkir ke wastafel.