"Kau tidak lupa kan, hari ini kau harus melakukan apa?"
Zaira masih menatap kosong layar ponselnya. Kalimat itu seperti pedang yang dihunuskan di depannya. Ia nyaris tak bisa melakukan apa pun seperti keinginannya sendiri.
Jalanan di sampingnya, yang ia lihat dari balik kaca jendela, tak mampu menawarkan rasa tenang yang seharusnya menyertai status barunya. Justru sebaliknya, hari itu terasa sempit. Datar. Hampa. Dia seperti kehilangan seluruh hidupnya.
Mau sampai kapan, Za? gumamnya dalam hati. Bangun, za. Kau berhak bahagia!
Dia membuka tasnya, mengeluarkan sehelai tisu. Menyekanya pelan. Untuk apa menangis, Za?
Dari balik kaca spion depan, pak supir tak sengaja melihatnya. Mata tua itu menatap iba sekaligus terkejut. Karena untuk pertama kalinya, dia melihat sesuatu yang bahkan tak akan pernah terlihat oleh mata manapun... tangis tertahan yang sengaja dibenamkan dengan sehelai tisu.
*
"Aku hanya ingin pernikahan yang tenang. Tidak ada cinta pun tak masalah."
Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Rayyan saat pertemuan keluarga tiga bulan lalu. Di hadapannya, duduk seorang perempuan dengan wajah tegas dan senyum yang nyaris tak pernah muncul. Zaira.
Mereka duduk berdua, terpisah dari orang tua masing-masing. Meja kafe hotel menjadi saksi betapa kaku dan dinginnya pertemuan itu.
“Kau tidak menanyakan pendapatku,” ujar Zaira tenang.
“Aku tidak perlu bertanya, karena kita berdua tahu ini hanya formalitas.”
Zaira mengangkat alis. “Dan kau tidak keberatan?”
Rayyan mengangkat bahu. “Daripada menjelaskan terus-menerus ke Ibu, kenapa aku belum menikah di usia tiga puluh lima?" Dia mendengus. "Aku lebih baik menikah, meski tanpa cinta."
Zaira terdiam. Menatap Rayyan tanpa senyum.
"Bukankah kau sama? Menikah cuma butuh status. Lalu apa bedanya kau dengan aku," cibir Rayyan.
Zaira menyandarkan punggung. “Aku memang butuh status ‘istri’ untuk mengurus warisan Ayah. Jadi… kelihatannya kita sama-sama diuntungkan.”
“Menikah demi kebutuhan. Rasional.” Rayyan tersenyum kecil, tapi bukan senyum hangat… melainkan pahit dan mengejek.
Zaira menyambutnya dengan tatapan datar. “Aku tidak punya waktu untuk drama atau pengharapan yang tidak realistis.”
“Aku juga tidak ingin drama.”
Mereka sama-sama diam beberapa saat, menatap meja, menimbang.
“Jadi, kapan kita akan menikah?” tanya Zaira, seolah ini percakapan bisnis.
Rayyan mengangguk ringan. “Tiga bulan dari sekarang. Setelah semua dokumen selesai.”
*
Di rumah Rayyan, setelah makan pagi itu, suasana kembali dingin.
Zaira sedang merapikan tas saat Rayyan mendekat.
“Kemarin malam…” katanya pelan, “Aku benar-benar tidak ingat apa yang aku katakan.”
“Tak perlu diingat.”
Rayyan menatap Zaira. “Apa yang kukatakan?” tanyanya, memaksa.
Zaira tidak menoleh. “Kau menyebut nama Reva.”
Rayyan menggertakkan giginya. “Maaf.”