Za...."
Suara itu memudar. Tidak ada jawaban. Tidak ada gerakan dari dalam kamar. Hanya sunyi.
Rayyan berdiri di depan pintu, mengangkat tangan untuk mengetuk sekali lagi. Tapi dibatalkannya. Ia hanya menunduk, menarik napas yang berat, lalu melangkah pergi.
Langkah kakinya sayup, seperti menghindari kenyataan bahwa di balik pintu itu, ada perempuan yang tak pernah benar-benar ia pahami. Bahkan sejak awal.
Di dalam kamar, Zaira tetap duduk di tempat tidur. Diam. Tangannya mengepal di atas pangkuan, seolah sedang menahan sesuatu. Bukan tangis, bukan amarah. Tapi kesadaran pahit bahwa semua ini... pernikahan, rumah, nama belakang barunya, tak lebih dari panggung besar yang dibangun atas kompromi, bukan cinta.
Ponselnya tiba-tiba bergetar.
Satu notifikasi. Bukan dari Rayyan.
Dari nomor yang tak asing. Reva.
Zaira, aku tahu aku tidak berhak datang. Tapi aku tidak ingin mengganggu. Aku hanya ingin bicara. Sekali saja.
Zaira memandangi layar ponsel itu lama.
Jari-jarinya gemetar. Tapi bukan karena takut. Melainkan karena muak dengan semua ini. Dia muak seperti boneka hidup, menuruti setiap keinginan setiap orang, tanpa melihat perasaan yang ditahannya setiap hari.
Rayyan yang belum selesai dengan masa lalunya.
Reva yang datang seenaknya.
Dan dirinya... yang terus berdiri di tengah, seolah semua orang bebas menuntut pengertian darinya.
Dengan tenang, ia menghapus pesan itu. Lalu berdiri. Berjalan ke cermin. Menatap dirinya sendiri.
"Aku bukan tempat sampah kenangan siapa pun," gumamnya pelan.
Ia membuka lemari. Mengambil tas kerja dan map hukum.
Hari ini ada pertemuan lanjutan dengan pengacara. Ia akan menyelesaikan urusan tanah warisan ayahnya. Dan setelah itu... ia belum tahu akan ke mana.
Tapi satu hal pasti, ia tidak akan menoleh ke belakang hanya karena ada yang memanggil namanya dengan suara familiar.
Zaira melangkah keluar kamar.
Di ruang tamu, Rayyan duduk dengan laptop terbuka. Ia menoleh. Terkejut melihat Zaira berpakaian rapi.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya cepat.
“Bekerja,” jawab Zaira singkat.
“Tidak ijin dulu padaku?” Rayyan menatap Zaira. "Kamu lupa sekarang aku siapa?"
Zaira tersenyum tipis. Lucu sekali! gumamnya. Kalimat demi kalimat yang mengalir dari bibir lelaki itu terasa kayak lelucon sandiwara. Kalau Rayyan pikir dia tersentuh.. tidak akan! Ini bukan pernikahan sesungguhnya, lebih seperti dua orang yang tinggal satu rumah dengan banyak kepentingan!
"Kita sudah menikah, dan kamu harus ijin padaku kalau mau ke manapun, Za."