Karena Aku Bukan Pilihan

Diah kurniawati Ade Tenu Kurnia
Chapter #4

Bab 4. Di Antara Dua Bayangan

Zaira kembali menatap layar ponselnya. Pesan itu masih terpampang di sana.

Bukan dari Rayyan. Bukan dari Azka. Hanya nomor tak dikenal, yang membuat harinya semakin tidak tenang.

Ia mencoba menelusuri ID pengirimnya. Tidak tersimpan. Tidak ada nama. Tapi yang membuatnya bergidik... pesan itu dikirim dua menit sebelum ia keluar dari kantor Bu Hana. Artinya... seseorang sedang mengawasinya. 

Siapa?

Ia menoleh ke sekeliling, melihat dengan pandangan waspada. Tapi yang tampak hanya jalanan lengang dan langit yang kian gelap. Udara seperti menggantung. Tidak hanya karena awan hujan... tapi juga karena sesuatu yang belum bisa ia mengerti.

Ponselnya kembali bergetar. Nama Azka kembali di layar.

Aku tak akan memaksamu untuk datang, Za. Tapi aku di cafe lama, dekat taman belakang. Tempat favorit kita dulu. Kau masih ingat? Sampai jam tujuh, Za.

Zaira menggigit bibir bawahnya. Tempat favorit? Cafe lama? Dia memejamkan mata. Bagaimana mungkin dia lupa tempat itu? Semua bayangan berkelebat tanpa henti. 

Tempat ia pernah mengadu tentang ayahnya, yang tak pernah melihatnya sebagai anak perempuan. Tentang semua pandangan semua orang yang melihatnya sebagai pewaris. Tentang tekanan demi tekanan yang membuatnya nyaris seperti boneka hidup.

Cafe itu... dia membuka matanya. Menghela napas panjang. Tempat ia dulu menertawakan hidup dengan Azka... sebelum semuanya hancur... hilang tanpa jejak.

Tapi pesan sebelumnya kembali mengusik, membuat kerutan kerap muncul di keningnya.

"Jangan percaya siapa pun."

Kalau dia tidak boleh percaya siapa pun, lalu siapa yang harus ia percaya sekarang?

*

Di rumah, Rayyan sudah duduk di ruang kerja. Mengenakan kemeja kerja tanpa jas, tapi wajahnya tetap dingin dan sulit didekati.

Zaira baru membuka pintu saat suaranya terdengar.

“Kau dari mana? Keluar tanpa mengatakan padaku ke mana. Dan sekarang baru pulang."

Zaira mengernyitkan kening. 

"Kau salah makan apa?"

Rayyan menatapnya, tak mengerti.

Zaira menatap dingin. “Jangan berperan seolah kau suamiku. Terdengar di telingaku seperti lelucon sumbang," katanya. "Aku ada urusan pribadi.”

Rayyan bangkit dari kursi. “Aku memang suamimu, Za.”

“Dalam dokumen, ya. Ingatanku masih normal. Di atas kertas, kau memang suamiku. Tapi dalam hidup... kita cuma dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.”

“Kau mulai tidak sopan.”

Zaira melangkah masuk. Matanya tajam, tapi suaranya tetap tenang.

“Aku bukan tidak sopan. Aku hanya tidak pandai pura-pura. Kau ingin rumah tangga yang tenang tanpa cinta, kan? Ini hasilnya.”

Rayyan menatap Zaira dalam-dalam. “Apa maksudmu bicara seperti itu?”

“Sejak awal kita sama-sama tahu, pernikahan ini dibangun karena alasan yang salah.”

Rayyan berjalan mendekat. Rahangnya mengeras. “Dan kau mulai mendekati lelaki dari masa lalu untuk membuat pernikahan ini lebih salah lagi?”

Zaira tertegun. “Apa maksudmu?”

Rayyan mengangkat ponsel. “CCTV rumah ini menyala, Za. Aku tahu kau menerima pesan dari seseorang bernama Azka.”

Zaira membeku. Jadi dia mengawasi?

“Kau memeriksa ponselku, sekarang mengawasi aku juga? Kau suami, bukan detektif.”

Rayyan nyaris membentak, “Dan kau istri. Bukan perempuan yang bebas meladeni siapapun yang muncul dari masa lalu!”

Zaira melangkah mendekat. Hidung mereka hanya terpaut beberapa sentimeter.

“Lalu bagaimana denganmu? Masih menyimpan kenangan dengan Reva. Apa kau pikir aku tak tahu kata sandi galeri rahasiamu? Kau pikir aku bodoh?” tatap Zaira, tajam. "Lalu kau yang mengaku suami, merasa seolah haknya dilanggar? Kau pikir yang punya hak cuma suami!"

Rayyan terdiam. Rahangnya menegang. Menatap Zaira dengan kesal.

Lihat selengkapnya