Karena Aku Bukan Pilihan

Diah kurniawati Ade Tenu Kurnia
Chapter #5

Bab 5. Jejak yang Tak Pernah Hilang

Nama di layar membuat matanya membelalak.

Zaira tak langsung menerima panggilan itu. Jantungnya berdebar tak karuan. Bukan karena nama yang muncul tidak ada nama dan hanya deretan angka asing... melainkan karena waktunya. Terlalu tepat. Terlalu menakutkan.

Ia menatap layar selama tiga detik... berpikir untuk menyentuh ikon merah, sampai akhirnya rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya dan menyentuh ikon hijau.

"Halo?"

Sunyi. Hening, tak ada suara yang terdengar. Baru saja Zaira ingin mengakhiri sambungan, tiba-tiba suara berat muncul. Pelan. Seperti disaring melalui perangkat pengubah suara.

"Kalau kau pikir kau bisa mempercayai siapa pun... kau salah besar, Za. Termasuk dia. Berpikirlah rasional."

Deg. Jantung Zaira berpacu lebih cepat. Dia paling benci menebak, tapi sepertinya suara di seberang ponselnya lebih suka bersembunyi daripada memperkenalkan dirinya. 

"Siapa kau?" Zaira menggenggam ponsel erat.

Tak ada jawaban. Hanya bunyi napas berat. Lalu, telepon terputus.

Zaira berdiri dari kursi balkon. Matanya menajam, menembus pekatnya malam. Tapi yang ia lihat hanya bayangan samar pepohonan dan lampu jalan. Tidak ada siapa pun. Bahkan sisa-sisa daun, sekiranya dipakai untuk mengintai pun tenang, tak bergerak. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain. Tapi rasanya... matanya diawasi. 

Ia mengeluh dalam diam. Ketenangannya terusik tanpa dia tahu... siapa? Perlahan dia mengunci layar ponsel dan masuk kembali ke dalam kamar. Lalu menutup tirai.

Keesokan paginya, Zaira duduk di meja makan. Rayyan sudah lebih dulu di sana. Membaca berita dari tablet, wajahnya tenang tapi tegang. Zaira yang melihatnya bersikap tak peduli. Mendorong sedikit kursi makannya dan melangkah ke dapur, menyeduh kopi dan kembali duduk di meja makan.

“Tidurmu nyenyak?” tanya Rayyan tanpa menoleh.

“Lumayan,” jawab Zaira pendek. Ia mengoles roti dengan selai coklat kacang dan berusaha bersikap biasa.

"Kenapa hanya sarapan dengan roti dan kopi?" tanyanya lagi. Dia melihat Zaira sedang menyesap kopi, dan setelahnya mengunyah rotinya.

Zaira mengangkat wajahnya. Membalas tatapan Rayyan. "Kenapa dengan roti dan kopi? Ada masalah dengan mereka?" 

Rayyan menggeleng sekali. Lalu, seolah tidak tahan, ia meletakkan tabletnya dan berkata, “Aku tahu kamu masih menyimpan pesan itu.”

Zaira menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”

“Pesan dari Azka.”

Zaira diam. Mengangkat cangkirnya, lalu menatap langsung ke mata Rayyan.

“Aku tidak menghapusnya. Tapi aku juga belum membalas.”

Rayyan tertawa pendek, tapi tak ada nada lucu di sana. “Kau ingin aku lega karena itu?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa kau simpan?”

"Ada masalah?" tanya Zaira, acuh, dan kembali menyesap kopinya.

Rayyan menatapnya tajam.

Zaira mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Karena aku tidak menyukai keputusan yang terburu-buru. Dan karena ada satu hal yang lebih penting sekarang.”

“Apa?”

Zaira menatapnya tajam. “Ada yang memperingatkanku. Lewat pesan. Lewat telepon. Dan aku tidak tahu siapa.”

Rayyan mengerutkan kening. “Kau yakin itu bukan ulah Azka?”

“Kalau iya, kenapa dia tidak langsung mengatakannya waktu mengirim pesan? Kenapa pakai nomor berbeda? Suara berbeda?”

"Lalu kau tetap ingin pergi?"

Lihat selengkapnya