Aku tidak ingat jam berapa mulai terlelap, tapi sebelum mataku benar-benar terpejam, sempat kulihat bayangan Dino melintasi meja kerjaku, membalutkan selimut ke tubuhku, dan menutup notebook-ku hingga layarnya log off. Aku sudah terlalu lelah untuk benar-benar membuka mata dan menyapanya. Mungkin dia marah, karena tidak biasanya dia membiarkanku tertidur di meja kerjaku dalam posisi duduk seperti ini hingga pagi hari. Biasanya dia akan mengangkat tubuhku dan memindahkannya ke atas ranjang, melepas pakaian kerjaku dan menyelimutiku dengan pelukan hangatnya. Suara ketukan di pintu kamarku spontan membuatku terperanjat, suara Mbak Pita menyusul kemudian. Aku menyuruhnya masuk sambil menguap malas dan mematikan AC, Kubuka tirai jendela agar udara pagi bisa masuk.
“Sarapannya mau saya bawa ke kamar atau gimana, Bu?” tanya Mbak Pita sambil meletakkan cangkir teh di atas meja.
Aku menggeleng. “Saya sarapan di kantor aja, Mbak.”
Mbak Pita langsung mengangguk dan kembali berjalan keluar kamar.
“Pak Dino sudah berangkat ke kantor, Mbak?” teguranku langsung menyurutkan langkahnya.
Mbak Pita menggeleng bingung. Menggaruk-garuk rambutnya sekilas sebelum menjawab. “Saya belum melihat Pak Dino lagi sejak kemarin pagi, Bu ....”
“Ooow!” Aku berusaha tersenyum sambil menutupi keterkejutanku. Kuangguk-anggukkan kepalaku hingga Mbak Pita pun beranjak dan kembali menutup pintu kamarku.
Suara ponselku berteriak dari atas meja, sepertinya panggilan masuk dari salah satu klien. Aku mendesah malas tanpa niat untuk menggubrisnya sama sekali. Kulirik LCD smartphoneku. Benar dugaanku, panggilan itu dari PT Arkena. Hari ini aku memang sudah membuat janji akan menyerahkan Management Letter hasil audit kami kepada mereka. Sepertinya klien paling perfeksionis itu ingin memastikan aku tidak mangkir dari janjiku.
Pantas saja Ayang dengan sukarela menyerahkan klien potensialnya itu padaku. Rupanya dia sudah tidak sanggup menghadapi teror mereka yang sepertinya tidak mau mengerti sama sekali kesulitan kami di bulan neraka ini. April, benar-benar bulan yang patut untuk dibenci oleh para akuntan publik seperti kami.
Baru saja aku melepas pakaianku dan bersiap untuk mandi, sebuah pesan singkat terdengar menyapa smartphone-ku. Bergegas aku kembali ke meja kerjaku. Nada itu spesial kusetting untuk SMS masuk dari Dino.
From: My Soul
Morning, my princess ...
Miss u
Aku tersipu, Dino memang suami yang luar biasa. Dia masih tetap konsisten dengan sikap romantisnya seperti saat awal pacaran dulu. Kugerakkan jari-jariku dengan cepat di atas keypad untuk membalas pesannya.
For: My Soul
Morning, my soul ...
Miss u too, where are you right now?
Kutekan tombol send dengan segera dan menunggu balasannya dengan tidak sabar. Hampir lima belas menit, Dino tidak juga membalas pesanku. Aneh. Setahuku, Dino tidak mungkin selamban itu hanya untuk mengetikkan nama tempat dia berada saat ini. Akhirnya kutekan tombol ‘panggil’ untuk memuaskan rasa penasaranku. Sampai panggilan ke sepuluh, Dino tidak juga menjawab panggilanku. Ada apa sebenarnya? Aku menarik napas kesal. Kulempar smartphone-ku ke atas kasur dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Biarlah urusan Dino kutunda dulu karena hari ini aku tidak boleh terlambat tiba di kantor. Ayang bisa menggantungku kalau sampai itu terjadi.
Jam makan siang sudah lewat lima belas menit dan aku masih tetap berkutat di depan layar notebook-ku dengan setumpuk portofolio yang berserakan di sebelahnya. Kacamata minusku sudah berkali-kali merosot ke ujung hidung. Entah seperti apa penampilanku saat ini. Mung-kin lebih menakutkan dari sosok nenek sihir dalam film Snow White.
“Ada yang nyari kamu, tuh!” Ayang menerobos masuk ke ruang kerjaku tanpa permisi. Aku paling tidak suka kebiasaan buruknya yang satu ini. Meskipun dia pemilik sembilan puluh persen saham Kantor Akuntan Publik “A&R” ini, menurutku ulahnya itu tetap saja tidak sopan.
“Siapa? Klienku?” Kuhempaskan punggung ke sandaran kursi sambil membenarkan letak kacamataku. Ayang langsung menggeleng dengan mimik muka jijik.
“Abang senimanmu yang nyentrik gila itu!”
Aku spontan tertawa geli. Ayang bukan satusatunya orang yang menganggap penampilan aneh Bianka tampak sangat menjijikkan. Dino saja yang sudah mengenalnya bertahun-tahun masih merasa tidak nyaman dengan penampakan Bianka yang lebih mirip gembel jalanan daripada seorang pelukis terkenal. Bayangkan saja, tubuh Bianka itu nyaris seperti papan dengan tulang-belulang yang menonjol di manamana, ditambah lagi rambut ikal gondrongnya yang tidak sekali pun pernah disisir, apalagi diikat rapi. Kedua daun telinganya penuh tindikan dengan anting-anting bergaya etnik yang sangat kontras dengan pakaiannya, yang tidak lebih dari selembar kaus oblong dan celana jins pudar yang sudah sobek di sana-sini sehingga menimbulkan kesan lusuh yang sangat sempurna. Hanya kulit kuning langsat yang sedikit membedakannya dari gelandangan yang berkeliaran di pinggiran jalan.
“Di mana dia, Ay?”
“Di luarlah, aku bilang kamu lagi sibuk dan nggak bisa diganggu!” seru Ayang sambil bersidekap. “Tapi sepertinya dia terlalu keras kepala untuk menunggumu!” lanjutnya dengan tampang kesal.
Aku terkekeh sambil melepaskan kacamataku. Pelipisku terasa berdenyut-denyut menahan penat di kepalaku. “Dia tuh kadang punya lelucon-lelucon garing yang bisa me-refresh otak yang lagi buntu loh, Ay! Percaya, nggak?”
Ayang mencibir tak peduli. “Terserah kamu, deh!” Dia berbalik meninggalkan ruanganku. “Aku akan menyuruhnya masuk!” ujarnya sebelum menutup kembali pintu ruang kerjaku dengan muka cemberut. Aku hanya geleng-geleng kepala, berusaha memaklumi sikap alergi Ayang yang begitu ekstrem terhadap Bianka.
“Halo, sweety ....” sapaan khas ala Bianka terdengar mengisi ruanganku beberapa saat setelah Ayang menutup pintu. Sosok mirip gembel di kolong tol Grogol itu melangkah masuk ke ruanganku dengan penuh aksi. Dia berputar berkali-kali, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruanganku dengan sikap takjub yang dibuat-buat. Aku hanya mencibir jengah menyaksikannya.
“Bersedia aku traktir makan di luar? I have a bad news for you, my sweety!” ujarnya tanpa basa-basi. Dia tidak tampak akan duduk di kursi di hadapanku, hanya berdiri di belakang kursi tersebut sambil menatapku dengan pandangan lurus.