Semua orang pasti pernah merasakan jatuh cinta, kegelisahan yang menyenangkan, dan gejolak aneh yang membuat bibir selalu saja ingin tersenyum. Normalnya, jatuh cinta itu tidak menimbulkan rasa sakit. Tidak seperti yang aku rasakan saat ini. Mungkin aku jatuh cinta pada orang yang salah, atau mungkin juga cinta itu sendiri yang salah. Entahlah, aku tidak mengetahui sama sekali tentang dia, bahkan sekadar namanya. Aku hanya tahu, aku telah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama. Naif memang, tapi begitulah kenyataannya. Sudah dua hari ini aku tidak melihatnya. Rasanya kerinduanku sudah menggunung dan hampir meledak menghancurkan kewarasanku. Biasanya, sekitar jam delapan malam dia muncul dari balik pintu coffee shop dan berjalan melewati tempat duduk favorite-ku untuk menghabiskan waktu berjam-jam bersama benda kesayangannya, sebuah notebook ber-casing logo club sepak bola terkenal dari Negeri Pizza.
Dia sosok dengan daya tarik luar biasa. Energi positif dalam dirinya terpancar begitu nyata seperti pendar-pendar bintang di langit malam. Kedua bola matanya senantiasa berbinar cerah seperti matahari pagi, tidak pernah tampak redup. Langkah kakinya yang kuat tampak sangat percaya diri. Tubuhnya tinggi tegap dengan kulit cokelat tua yang ditumbuhi rambut-rambut halus yang semakin mempertegas kesan kejantanannya. Dia tidak tampan, tapi menurutku dia sosok yang cukup sulit untuk diabaikan. Sialnya, beberapa kali aku sempat mendengarnya berbicara di ponsel dengan seorang perempuan yang disapanya dengan panggilan sayang.
“Bisa minta waktunya sebentar?”
Suara Ago membuyarkan lamunanku. Dia sudah berdiri di hadapanku dengan wajah kebingungan. Aneh, aku sama sekali tidak mendengar ketukan pintunya juga langkah-langkah beratnya saat memasuki ruanganku. “Ada apa, Go?”
Ago menyodorkan satu pak rokok ke atas meja. Ia menyulut sebatang, lalu menghisapnya berkali-kali tanpa izin. Seketika ruanganku dipenuhi kepulan asapnya. Aku terbatuk-batuk sambil menyingkir. Kumatikan AC di ruanganku dan langsung membuka kaca jendela supaya ada pertukaran udara. Aku memang perokok aktif, tapi aku paling tidak tahan menghisap asap sisa perokok lain. Aneh memang. “Katakan sekarang, aku gak punya banyak waktu!” perintahku sambil kembali duduk.
Ago memilin-milin jemarinya dengan gugup. Sebentar kemudian bola matanya berputarputar seperti orang kehilangan akal. “Skandal besar, Lus! Bisa hancur karier kita!”
Aku langsung paham arah pembicaraannya. Pasti soal kasus koruptor kelas kakap yang sedang ditanganinya. “Anggota dewan itu maksudnya?”
“Tepat!” Ago menjulurkan telunjuknya ke ujung hidungku. “Kamu juga harus siap-siap, sepertinya aku akan butuh partner tambahan buat sidang minggu depan!”
“Oh, no! Ini benar-benar musibah besar!” kuhempaskan tubuhku ke sandaran kursi. Berlagak syok, padahal aku justru merasa geli melihat mimik wajah Ago sepanik itu. “I can’t promise you, terlalu berisiko!” tambahku berlebihan.
“Lusiana-ku, help me, please. Ini pertaruhan harga diri, antara hidup dan matinya seorang Ago, you know?”
Aku tertawa lebar mendengar ucapannya. “Sekronis itukah?”
“Pasti. Efeknya bisa sangat mungkin merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, pikirkan itu baik-baik, Lusiana-ku!”
Kulemparkan gumpalan kertas bekas ke arah wajahnya. “Berkelas sekali ocehanmu, tuh, paling pintar memang kau mendramatisasi masalah!”
Ago ikut tertawa disela embusan asap dari mulutnya yang lebar. Kacamata tebalnya sudah merosot sampai ke pucuk hidungnya yang tidak mancung, tapi aku tahu dia orang paling malas dalam hal membenarkan letak bendabenda yang dikenakannya, bukan hanya kacamata. Perhatikan saja bagaimana bentuk kerah bajunya yang tidak pernah terlipat sempurna di bagian belakangnya, lalu dasinya yang selalu mengerut-merut di bagian pangkal seperti hendak mencekik leher pendeknya. Ago, yang amat sangat jauh dari kesan pengacara pintar dan patut diandalkan, nyatanya adalah pengacara muda yang cukup punya nama. Sudah banyak kasus penting yang berhasil dia menangkan sepanjang kariernya di depan meja hijau. Rekornya bahkan telah mengalahkan aku yang nota-bene anak seorang pengacara terkenal negeri ini.
“Perempuan yang sering melamun, biasanya lagi jatuh cinta!”
Aku langsung terkesiap, tidak menyangka komentarnya yang begitu tiba-tiba akan sangat tepat sasaran. “Excuse me?”
Ago membungkuk ke depan meja. “Tepat kan vonisku?”
Aku hanya mencibir sambil mengangkat bahu, mengeluarkan sebatang rokok dari dalam paknya. Mencari-cari pemantik di saku jasku, tapi tidak berhasil kutemukan. Akhirnya korek api batangan Ago yang kupakai. Satu hal lagi yang unik dari lelaki berpostur pendek ini. Dia tidak pernah berani menggunakan pemantik. Entah trauma apa yang membuatnya begitu. Dia tidak pernah bersedia memberi tahuku.
“Inget umur, Lus. Kamu bukan abege lagi, udah waktunya mikirin kawin!”
“Terima kasih atas nasihatnya, sobat!” tandasku dengan nada sarkastis. Ago hanya bergidik tanpa merasa terganggu sama sekali dengan ucapanku.
“Lusiana-ku sayang, apa kamu nggak pernah merasa kesepian?”
“Of course not! I’m single and really really happy!” jawabku cepat. Mungkin terlalu cepat hingga Ago terbahak mengejek jawabanku. “Jawabanmu benar-benar klasik dan munafik!” tandasnya kejam di akhir tawanya.
Kusemburkan asap rokok dari mulutku ke wajahnya. Kadang-kadang Ago benar-benar bisa berubah menjadi sosok yang sangat menyebalkan setiap kali berbicara masalah pribadi seperti ini. Dia sudah terkena sindrom sukses hanya karena merasa telah menyempurnakan hidupnya dengan menikah.