Setiap pagi aku melakukan rutinitas yang sama. Bangun dari tempat tidur setelah terdengar suara azan subuh, mandi, shalat, lalu menyibukkan diri di dapur untuk menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini aku merasa tidak sanggup untuk beranjak dari atas kasur, seluruh persendianku seperti mati rasa. Mungkin akibat benturan-benturan benda keras semalam. “Aku berangkat, Mah!” Suamiku yang sudah berpakaian seragam rapi melangkah mendekatiku. Dia membelai lembut pipiku yang me-mar dan masih terasa perih. “Aku sudah menyiapkan minyak tawon untuk mengobati memar-memarmu”. Aku mengangguk lemah, mengambil dan mencium punggung tangan yang kekar itu dengan hormat.
“Maafkan aku atas kejadian semalam,” dia mengecup lembut keningku. Tidak ada kata-kata yang mampu kuucapkan, hanya sebuah anggukan dan senyum manis yang kupaksakan.
“Aku sayang kamu, Mah!” bisiknya di telingaku sebelum beranjak keluar. Aku tergugu, air mataku kembali merembes membasahi pipi.
“Hati-hati, Ayah!” gumamku dengan suara tercekat begitu dia menggamit panel pintu. Sekilas dia menoleh, lalu tersenyum tipis dan melambaikan sebelah tangannya.
Aku menarik napas panjang. Mataku terpejam beberapa saat, sebelum lagi-lagi kugigiti tepian sarung bantal dengan geram saat teringat tindakan brutal yang dilakukannya semalam. Entah apa penyebabnya, tiba-tiba dia marah besar padaku tanpa alasan. Mungkin dia sedang mendapat masalah di tempat kerjanya, karena itu aku berusaha untuk mengerti dan tidak menanggapinya sama sekali. Lebih dari sepuluh tahun aku hidup satu atap dengannya, sehingga aku cukup paham cara menghadapi kemarahannya. Kalau kutanggapi, bisa-bisa bogem mentah melayang ke wajahku semudah memakaikan blush on gratis. Namun, entah setan apa yang telah merasukinya sampai ia tega menjambak rambutku dan menyeretku ke kamar mandi, padahal aku sudah diam saja mendengarkan segala caci makinya.
Tanpa sengaja, Devan, putra sulungku yang kini sudah duduk di bangku kelas 6 SD, melihatku yang termenung sendiri.
“Mamah baik-baik saja?” Seketika aku mengerjapkan mataku yang berair. Kulihat di balik pintu kamarku, Devan tengah mengintip dari celah yang sedikit terbuka.
“Masuk, sayang ....”
Dia mendorong daun pintu dengan bahu mungilnya. Hari ini dia mengenakan seragam putih merah kebanggaannya. Tampan sekali anak itu. Dia mewarisi kulit kuning langsatku dan raut kelelakian ayahnya.
“Mamah baik-baik saja kok, sayang!” sahutku sambil berusaha bangkit. Devan berjalan dengan hati-hati mendekatiku. Dia membawa baskom kecil berisi air dan handuk kecil yang disampirkan di bahunya.
“Ayah jahat sama Mamah, Devan benci!”
“Sssttt …,” kututup mulut mungilnya dengan telunjukku. “Ayah nggak jahat, sayang! Mamah nggak apa-apa kok, lihat nih!” Kusunggingkan senyuman termanisku agar anak lelakiku percaya, tapi sepertinya Devan cukup kritis untuk menangkap kebohonganku. Dia mengerucutkan bibirnya dengan raut muka marah.
“Mamah bohong, Devan lihat sendiri Ayah mencekik leher Mamah semalam!” bantahnya mulai berargumen. Mata beningnya menatapku tak berkedip.
Aku mendesah, nyaris kehilangan akal untuk meyakinkannya. “Kamu masih terlalu kecil untuk mengerti semuanya, Ayah melakukan itu karena kesalahan yang Mamah lakukan, bukan karena Ayah jahat.” Kuusap kepalanya dengan sayang. “Biar Mamah yang mengompres sendiri, kamu pergi ke sekolah sana, jangan sampai terlambat.” Perintahku mengalihkan perhatiannya. Malaikat kecilku itu langsung menggeleng keras. Dia tidak terima dengan caraku mengusirnya sebelum dia puas menerima penjelasanku.