Sesampainya mereka di mobil, Luna langsung terkulai lemas dan akhirnya pingsan karena kelelahan seharian menangis. Riki duduk di sampingnya menjadi kembali kawatir, “Luna?! Ya ampun, kenapa Luna pingsan lagi sih? Ini pasti dia enggak makan dan belum minum obatnya lagi.” keluh Riki.
“Ya Allah, Non Luna. Kenapa lagi ini Non?” ucap Bibi Mirna dengan raut wajah penuh kawatir.
Bibi Mirna yang melihat Luna tidak sadarkan diri begitu memilih mengambil minyak angin di tasnya lalu mulai memberi minyak angin itu ke tubuh Luna agar kembali cepat sadar. Setelah beberapa menit lamanya untuk berusaha menyadarkan Luna, pada akhirnya Luna terbangun juga dari pingsannya.
“Gue di mana sekarang?” tanya Luna.
“Lo di mobil Lun, sekarang lo istirahat aja. Kita masih di perjalanan menuju ke rumah lo dan sampai di rumah nanti lo jangan banyak beraktivitas dulu ya?” jawab Riki.
“Iya.” ucap Luna.
Setelah sampai di depan pintu rumah Luna, Riki langsung menggendong Luna dari mobil ke kamar Luna. Luna yang tadinya tidak menduga Riki seperti itu menjadi malu di depan Bibi Mirna dan Pak Yanto.
“Riki, lo kenapa gendong gue sih? Gue kan malu.” ucap Luna.
“Udah, enggak apa-apa lah Lun. Lo ini sekarang lagi kurang sehat. Lo enggak boleh banyak gerak, jadi biarin gue menjadi pacar bak pangeran hari ini.” jawab Riki.
“Apa sih lo, gombal banget.” ucap Luna.
“Serah deh, yang terpenting pacar kesayangan gue ini enggak kenapa-kenapa dulu.” jawab Riki.
“Iyain aja deh biar cepet.” ucap Luna.
“Nah, sekarang udah sampai di kamar tuan putri. Jadi tuan putri istirahat ya? Eh tapi, jangan lupa minum obatnya ya.” ucap Riki.
“Ya ampun Rik, udah deh. Jangan lebay gini bisa enggak sih?” jawab Luna.
“Gue cuma enggak mau lo sakit lagi Lun.” ucap Riki sambil memandang mata Luna dengan dalam.
“Apa?” jawab Luna yang ikut terbuai memandang tatapan Riki yang penuh harap cemas.