Aku benar-benar tak kuat. Pandangan mata yang semula terang perlahan mulai kabur. Menyamarkan keberadaan Mas Aban yang masih betah duduk di kursi seraya bermain ponsel. Langkah kaki terdengar menjauh, meski tak mengucapkan kata permisi aku yakin itu bidan yang barusan keluar dari ruangan ini.
"Masih pembukaan dua, Bu," ucapnya sebelum berlalu dengan nada suara yang terdengar sedikit ketus. Mungkin sedikit kesal karena permintaan Mas Aban--suamiku-- yang memaksa memeriksaku sekali lagi karena erangan yang terus saja keluar dari bibir ini.
"Ibu bisa kembali pulang dulu ke rumah. Nanti kalo memang gelombang cintanya semakin bertambah, Ibu boleh kembali lagi."
Tak lupa, ia melanjutkan kata yang membuatku nyaris saja berteriak. Aku kembali menangis, benar-benar sudah tak kuat. Dari kemarin sampai hari ini, terhitung enam kali sudah kami mengunjungi bidan desa tersebut mengingat perutku yang sakitnya sudah luar biasa. Sayangnya, pembukaan tak bertambah sama sekali. Untuk bertahan di sini pun, aku sadar diri. Praktek ini cuma memiliki satu ruang periksa merangkap ruang bersalin.
"Kubilang apa, capek aja bolak-balik kalo gitu terus dari tadi."
Meski sedikit buram, kulihat Mas Aban berdiri lalu menuju keluar sementara aku mengikutinya dari belakang. Tak menjawab juga menanggapi emosinya yang meledak. Memaklumi karena kutahu ini juga tak mudah baginya. Bolak-balik mengantar istri ke bidan hingga mengorbankan pekerjaan, namun pembukaannya sama sekali tak bertambah.
Aku mengusap perut yang untuk penghuni di dalamnya sudah kuberi nama Mazaya, lalu beralih menatap sang calon Kakak yang sedang asik menonton acara Upin Ipin di televisi, Malaika. Aku begitu menyayanginya, meski kejadian tiga tahun lalu semakin sering terbayang di kehamilan kedua ini. Malaika, bayi kecil yang membuatku harus menahan sakit selama tiga hari demi mengeluarkannya.
Meski ucapan banyak orang tentang proses melahirkan setiap anak itu berbeda-beda, aku benar-benar berharap Mazaya lebih menyayangiku dengan tak memberi waktu tiga hari dulu baru bertemu dengannya.
Semoga saja, Tuhan.
"Aku mau makan."
Atensiku beralih pada pria yang sudah mendampingiku selama empat tahun ini. Mas Aban kudapati sudah duduk di kursi menunggu makan siangnya kusiapkan. Sambalado, tumis buncis, kerupuk ubi, juga kacang tanah goreng menjadi menu kami siang ini. Mas Aban bukan tipe penuntut kalau berhubungan dengan makanan, ia siap memakan apa saja yang sudah kusajikan.
"Mas, beliin aku ini dong."