Karena Kirana

Mario Matutu
Chapter #1

#1

“ELLUNG!"

 Aku menoleh dengan hati remuk. Sebelum mengetahui siapa yang memanggilku, seorang gadis cantik tiba-tiba sudah memelukku.

 “Aku pikir ibu berbohong padaku,” kata gadis itu setelah melepaskan pelukannya. Saat ia mengangkat wajahnya, aku bisa melihat matanya berbinar.

 Ada apa ini Tuhan?

 Semua terjadi begitu cepat. Hanya hitungan detik aku mengalami dua kejadian yang begitu mengejutkan. Alena Mappassenge, kekasihku muncul dari ruang kedatangan bandara sambil bergandengan mesra dengan seorang pria layaknya dua sejoli yang baru saja menentukan tanggal pernikahan. Benar-benar pemandangan menyakitkan. Ini pengalaman pertamaku dikhianati dan rasanya sangat sakit. Hatiku seolah teriris. Pedih. Andai tidak sedang di bandara, aku bahkan tidak yakin masih bisa menahan air mataku. Dan belum hilang keterkejutanku melihat adegan romantis kekasihku—yang pekan lalu masih mengatakan aku adalah pangerannya—mendadak gadis lain muncul dan langsung memelukku. Seolah-olah dialah kekasih sebenarnya yang aku tunggu sejak dua jam lalu di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.

 Aku masih di level kebingungan paling tinggi ketika seorang ibu menghampiri kami. Seorang wanita kaya raya. Tak perlu bertanya untuk mengetahui status sosialnya. Cukup melihat tas yang ditentengnya. Itu Hermes. Asli. Harganya selangit. Banyak orang yang nekat menjual harga dirinya demi tas supermewah itu.

Wanita itu tersenyum padaku sesaat setelah melepas kacamata hitamnya. Meski hanya sekilas aku bisa melihat mendung menggelayut di bola matanya. “Kau tunggu di mobil. Ibu ingin bicara sebentar dengan tunanganmu,” kata wanita itu pada gadis yang masih memegang tanganku.

Tunangan?

Sekarang aku bukan lagi sekadar mematung. Kini aku sudah seperti orang yang baru saja terserang strok. Mataku membelalak menatap wanita itu. Aku ingin mengatakan kalau ia salah orang. Tapi, mulutku seperti sedang terkunci. Untuk beberapa saat aku hanya terngaga. Tidak satu pun kalimat yang bisa keluar dari bibirku.

“Tapi, jangan lama ya, Bu?”

“Iya. Sebentar saja kok.”

Gadis itu melepaskan tanganku lalu melangkah ke mobil yang sudah menunggu di depan gedung kedatangan bandara. Setelah naik ke mobil dan duduk di kursi tengah penumpang, ia memperhatikan kami dari kejauhan dengan wajah ceria.

 “Tolong kami, Nak. Saya Ibu Devi dan itu putriku, Kirana. Ikutlah bersama kami ke hotel. Aku mohon.”

Sekali lagi, aku ingin mengatakan kalau ia salah orang. Aku bukan tunangan putrinya dan sama sekali tidak mengenal mereka. Namun, melihat wajah memelasnya, aku mendadak merasa kasihan. Dengan aku sendiri yang sedang terluka karena pengkhianatan Alena, kuikuti Bu Devi ke mobil tanpa protes sedikit pun.

 Dan sekarang, di atas mobil, Kirana sudah menggelayut manja di lenganku. Bu Devi yang duduk di kursi depan sesekali menoleh memperhatikan kami kemudian tersenyum. Wajah memelasnya sudah menghilang berganti senyum bahagia.

Aku semakin kebingungan.

Apa mereka komplotan penjahat? Mungkin pelaku hipnotis. Dan aku sekarang sedang berada dalam pengaruh hipnotis. Mereka mungkin akan membawaku ke suatu tempat kemudian menggasak seluruh harta benda yang kumiliki.

Ah, tidak mungkin. Barang paling berharga yang aku punya saat ini hanya ponsel. Hanya penjahat bodoh yang mengincar pemuda sepertiku apalagi di tengah hiruk pikuk bandara.

Atau ...... jangan-jangan mereka merupakan anggota sindikat penjualan organ tubuh manusia dan aku saat ini adalah korban penculikan. Aku tidak merokok. Belum pernah menyentuh narkoba. Tidak pernah sakit. Belum pernah masuk rumah sakit. Usiaku 22 tahun dan sangat sehat. Hanya hatiku yang bermasalah. Itupun bukan karena penyakit. Hatiku sakit karena cinta. Organ tubuhku jelas sangat layak diperjualbelikan. Mungkin mereka menginginkan ginjal, hati, paru-paru, jantung, atau kornea mataku.

Wah, ngeri. Aku mulai menyesali keputusanku mengikuti keinginan Bu Devi.   

Mobil Alphard yang kami tumpangi melaju kencang menyusuri jalan tol. Dari kejauhan terlihat bangunan-bangunan pencakar langit berbaris di kawasan kota tepian yang membentang dari Pelabuhan Soekarno Hatta hingga Maros.

 Setengah jam kemudian kami sudah berada di dalam sebuah kamar super mewah di lantai dua puluh lima Hotel Jin Jiang. Aku menyebutnya super mewah karena beberapa benda di kamar itu sebelumnya hanya pernah kulihat di film-film Hollywood. Aku bahkan sempat ragu menginjak karpetnya. Kakiku seperti ingin tersedot ke bawah.

Lihat selengkapnya