Karena Kirana

Mario Matutu
Chapter #2

#2

HARI yang benar-benar aneh. Aku merasa seperti sedang bermimpi. Sangat sulit bagiku untuk percaya apa yang sedang terjadi saat ini. Aku tidak tahu bagian mana dari semua kejadian hari ini yang merupakan kebenaran. Sebab, sepertinya tidak ada yang masuk akal.

 Aku butuh penjelasan. Mungkin ada rahasia yang disembunyikan Bu Devi. Tentang dirinya, Kirana, atau bahkan mungkin tentang Alena. Tapi Bu Devi sudah pergi. Sekarang tinggal aku dan Kirana. Berdua. Di sebuah kamar mewah yang sewa per malamnya bikin aku merinding.

Seumur-umur aku tidak pernah membayangkan akan mencicipi hotel semewah ini. Memang belum bisa disetarakan dengan Shangri-La Bosphorus, Istanbul, The St. Regis Saadiyat Island Resort, Abu Dhabi, Mandarin Oriental, Shanghai, Burj Al Arab, Dubai, The Connaught Hotel, London, Hotel Plaza Athenee, Paris, atau The Westin Excelsior, Roma. Kamar di hotel-hotel termewah di dunia tersebut dilengkapi ruang fitness pribadi, sauna, kolam renang jacuzzi, ruang bioskop pribadi, lift yang menghubungkan ruang antar lantai, fasilitas dapur, taman, ruang bermain, salon, layanan spa, hingga pelayan pribadi. Dan tarif permalamnya ratusan juta. Tapi, untuk ukuran orang Indonesia, ini sudah sangat amat luar biasa sekali. Kalau kau ceritakan pengalamanmu menginap di hotel seperti ini kepada teman SD-mu di kampung, mereka akan ngiler.

Jadi, oke, kita tak perlu membahasnya panjang lebar.

Kirana baru selesai mandi beberapa menit lalu. Sembari memperbaiki ikatan rambutnya, ia memandangku sambil tersenyum.

Seperti yang aku katakan di awal, Kirana gadis yang cantik. Ia tipe gadis yang ekspresinya membuat dia terlihat cantik. Kulitnya putih bersih. Tingginya mungkin sekitar 160 cm. Lumayan tinggi untuk ukuran gadis remaja Indonesia. Gaya rambutnya feminin dan manis. Setengah bagian terikat dan sisanya terurai bergelombang. Usianya aku perkirakan tidak lebih dari 20 tahun. Ada sorot cerdas di matanya, tapi dari cara dia berbicara, Kirana tampak jelas merupakan sosok gadis yang manja. Yang tak bisa kujelaskan, kenapa dia tiba-tiba harus menjadi tunanganku?

Tapi sudahlah. Kirana sudah bangkit dan menghampiriku.

“Aku lapar,” katanya sesaat setelah duduk di sampingku. Ia membuang dirinya begitu saja di kursi. Kulirik jam di kamar. Sudah pukul setengah delapan malam. Pantasan perasaan lapar sudah menyergapku sejak tadi.

Seharian ini aku belum pernah makan. Tadi pagi, aku cuma sempat menyantap dua potong roti tawar. Tentu saja itu tidak masuk kategori makan. Bagi kita orang Indonesia, roti sekadar camilan. Kita sudah terbiasa makan nasi yang memiliki indeks glikemik tinggi. Dan mengonsumsi terlalu banyak makanan yang mengandung nilai indeks glikemik tinggi bisa membuat seseorang ketagihan. Selain itu, nasi adalah salah satu sumber karbohidrat bagi tubuh kita. Karena kandungan gulanya, nasi menimbulkan efek kecanduan seperti halnya narkoba.

"Kau mau makan apa?” tanyaku.

“Apa saja.”

 Aku mengajak Kirana ke restoran hotel. Di sana ada makanan apa saja. Kirana mengangguk setuju. Kami bergegas pergi. Tapi, saat kami sudah sampai di depan pintu masuk restoran, mendadak ia berhenti.

“Ada apa?”

“Kita makan di luar saja.”

“Kau mau makan dimana?”

Kirana mengangkat pundaknya.

Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan mengajak Kirana ke Kampoeng Popsa, sebuah restoran di depan Benteng Fort Rotterdam.

Menurut cerita ibuku, restoran ini sudah ada sejak tahun 2000-an dan menjadi food court pertama di Makassar. Meski restoran-restoran kelas dunia sudah menggempur kota ini, Kampoeng Popsa tetap bertahan bahkan masih menjadi salah satu favorit warga dan pengunjung Kota Daeng.

“Aku punya tempat istimewa.”

“Di mana?”

“Ikut saja.”

Kirana tak lagi bertanya.

Kami berangkat menggunakan taksi yang baru saja menurunkan penumpang di depan pintu masuk hotel. Lima belas menit kemudian, kami sudah tiba di Kampoeng Popsa. Mataku menjelajah sejenak sebelum mengajak Kirana ke teras restoran yang menjorok ke laut.

Kirana membaca satu persatu daftar menu di atas meja sebelum akhirnya memutuskan memesan nasi goreng dan jus jeruk untuk kami berdua. Tidak sampai setengah jam, dua pelayan dengan celemek berwarna merah sudah muncul membawa makanan pesanan kami. Keduanya tersenyum sopan lalu buru-buru pergi setelah meletakkan pesanan kami di atas meja.

                                                           ***

“INDAH sekali, ya?” kata Kirana setelah menghabiskan nasi gorengnya. Ia berdiri di tepi teras restoran berpenghalang besi sambil menjulurkan tangannya menyambut percikan ombak. Deru ombak dan pemandangan indah langit membuat dia tampak senang.

Aku mengangguk dari kursi sambil tersenyum. Itulah salah satu keistimewaan

Lihat selengkapnya