Bila mengenang masa kanakku, kedua mataku sering berkaca-kaca. Terkadang air mataku yang menyerupai lilin terbakar sumbunya meleleh di pipi. Sungguh. Masa itu tak berpihak padaku. Gadis kecil berkulit hitam, dekil, dan berbajah tirus. Gadis ingusan yang lahir dari rahim perempuan miskin. Istri pertama ayahku yang hanya seorang petani kecil. Hidup di gunung. Jauh dari keramaian kota.
Sewaktu ibuku meninggal, penderitaanku semakin sempurna. Aku yang tinggal bersama ayah, ibu tiri, dan kakak perempuan tiriku senasib budak pada zaman kolonial. Baru saja bangun pagi, aku harus bermandi keringat. Berjalan kaki sepanjang tiga kilometer untuk mengambil air dengan kelenting dari sendang. Merebus air, menanak nasi jagung, dan menyayur untuk sarapan keluargaku.
Tak seperti kakak perempuan tiriku, Mirna. Bila pergi ke sekolah, ia selalu berbekal uang. Karena saku kosong, aku hanya menggigit jari ketika melihat teman-teman SD-ku jajan di warung kecil samping sekolah. Aku yang sering menyendiri hanya dapat melihat saat mereka minum dan makan. Membayangkan betapa nikmatnya mereka ketika minum dawet pada jam istirahat di siang yang gerah. Betapa mereka sangat suka ketika dapat mengunyah kacang atom sesudah dilambungkan dan memasuki lubang mulut.