1
Gadis itu melongok ke luar jendela. Mendung tampak pekat dan tebal. Awan putih berlatar abu-abu gelap berarak berjalan kencang seolah di dalamnya ada pasien yang harus segera masuk unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit. Untuk sesaat, dilihatnya lagi judul buku itu, atau tepatnya sebuah novel berjudul Perahu Kertas. Hmmmm... ia pun menggumam sebelum akhirnya novel tersebut disingkirkannya, bahkan ia meletakkan seolah sedang membantingnya. Ia merasa sangat tersinggung dan seolah tengah dikuliti. Salahkah jika akhirnya ia membencinya?
Wanda. Ya....Wanda. Mengapa ada seseorang yang mengatainya seperti tokoh Wanda dalam novel Perahu Kertas. Apanya yang mirip. Semula ia bangga. Bukankah Wanda cantik karena berdarah blasteran? Akan tetapi, bukan ciri fisik yang dibahas sosok tersebut, meskipun ada kemiripan. Bukankah tubuhnya pun tinggi, bahkan jangkung untuk ukuran negeri ini? Ia pun cantik. Postur tubuhnya pun membuatnya beberapa kali diajak mengikuti fashion show.
Ia kembali menghela napas, Wanda? Ia kembali mengingat-ingat karakter gadis itu. Ia cantik dan sangat menyadari kelebihannya itu. Kesadaran yang terpancar dari setiap gerak dan tarikan napasnya. Tubuhnya yang tinggi pun seolah membuat para perempuan di dalam kelasnya, seolah tenggelam di sisinya. Ia sangat menyadari hal itu. Maka, tekatnya satu. Ia bisa membuat lelaki-lelaki tunduk kepadanya. Mengapa tidak? Bukankah selama ini, kaum wanitalah yang terkesan tunduk kepada lelaki?
Wanda yang merasa mendapatkan perlakukan tak acuh dari Keenan, sangat penasaran bahkan rela mengeluarkan uang tidak sedikit demi menundukkannya. Akan tetapi, rasa cintanya yang tidak tulus dari hati ditambah dengan pengorbanannya membeli lukisan Keenan demi beroleh cintanya, membuatnya marah dan berterus terang kepada Keenan dalam kondisi mabuk, bahwa dirinyalah yang membeli lukisannya. Ulah yang membuat harga diri Keenan melorot turun bahkan terbenam ke dalam tanah berlumpur. Maka, yang dilakukan Keenan kemudian adalah marah dan meninggalkannya dengan ungkapan menyakitkan bahwa cinta tidak dapat dibeli.
Hm… kembali ia menghela napas. Bayangan lelaki yang dikenangnya setelah membaca novel tersebut pun melintas- lintas. Betulkah aku mencintainya? Ia pun kembali termenung. Aku suka sikap manisnya. Memang. Tapi, mengapa ia begitu menjengkelkan? Mata elangnya seolah ingin menguliti bahkan menyelami hatiku sampai ke dasar-dasarnya semata untuk mendeteksi ketulusanku.
Betulkah aku mencintainya? Pertanyaan yang akhirnya muncul sebagai gumam tak jelas tatkala ia bercermin. Semula, ketika ia memamerkan masa depannya yang tampak bakal cerah, bukankah tidak hanya aku yang berdecak kagum? Hampir semua wanita bersikap ramah padanya. Sebagian kagum. Sebagian ingin memilikinya. Ingin mengenalkannya kepada orang lain. Bahkan ada yang tidak rela jika ia dekat dengan wanita yang kami anggap biasa-biasa saja. Ulah kami yang bak cacing kepanasan tersebut ditanggapi dengan aneka ungkapan dari para teman pria.
“Tapi, ia sudah punya pacar,”kata Karta kepadaku suatu senja sepulang kami menonton pertandingan sepak bola.
“Tapi pacarnya tua,”tukasku cepat. Mengapa suaraku terdengar emosi ya? Ia pun segera menenangkan hatinya. Ia sangat malu. Ia malu tentu saja. Bukankah selama ini ia dikenal sebagai bintang kampus? Mengapa ia ikut-ikutan para wanita yang tiba-tiba saja ingin mengatur perjalanan hidup lelaki calon konglomerat itu?
“Kalau Kamu tidak malu, lakukan apa pun yang Kaumau,”tiba-tiba Karta seolah berceramah tanpa melihat ke arahku. Aku jadi merasa suara Karta itu mewakili suara hati kaum lelaki dan wanita yang melihat kami tiba-tiba ingin mengatur nasib orang lain, ketika hal itu berkaitan dengan uang.
“Mengapa kamu ceramah?” ia pun bertanya kepada Karta sambil menatap wajahnya. Karta tertawa sambil mengembalikan pertanyaan,
“Kok Kamu tahu?”matanya pun ikut menatapku menirukan tatapanku kepadanya. Aku mendadak tersipu. Harga diriku kembali tercabik. Aku juga keheranan dengan yang terasakan melintas di hatiku. Karta pun tersenyum. Dalam keremangan senja, senyumnya seolah mengejek.
Gadis itu kembali menatap ke arah cermin, menyibakkan rambutnya yang panjang tergerai sampai punggung, menyanggulnya, sehingga menampakkan lehernya yang jenjang. Dulu ia perhatian kepadaku, aku seolah memandangnya sebelah mata. Sebetulnya tidak juga sih, tapi aku memang pasif, aku ingin dikejar, aku ingin lelakilah yang membucin, bukan aku. Suatu ketika, ia merasakan perubahanku yang drastis. Aku mendadak berlagak memperjuangkannya, ketika mendengar kasak-kusuk, bahwa pacarnya lebih tua. Memang seberapa peduliku akan hal itu?
Tentu saja kecerahan masa depannya, meskipun itu bukan hal utama bagiku. Yang utama, aku memang ingin pasif dan ingin diburu. Itu saja. Ketika ia tidak melakukan hal serupa, bahkan memamerkan telah diburu temanku, aku pun bersikap masa bodoh alias bodo amat. Ia yang sensitif tentu dapat merasakan ketidakpedulianku.
Aku mendadak kesal ketika ia meng-gosthing temanku. Temanku itu pun memotivasiku untuk berulah agresif kepadanya. Itu karena ia kecewa telah di-ghosting demi wanita yang sebelumnya telah ada di hatinya. Sebetulnya lucu juga sih, temanku itu. Mengapa ia menanggapi lelaki yang bercerita tentang pacarnya, yang ada konflik kek, ada ini itulah, pastinya ia membawa-bawa nama orang lain dalam PDKT yang dilakukaannya.
Ini strategi politik tingkat tinggi. Permainan yang sangat cantik dan rapi. Semula, ia memang berniat curhat karena memang sedang bermasalah dalam hubungannya dengan pacarnya. Akan tetapi, bisa saja ketika si teman curhat sanggup menggeser posisi si pacar yang tengah berkonflik dengannya, ia pun mencoba mencintainya?
Strategi berikutnya, ia memang pura-pura suka, demi mendapatkan sesuatu. Sesuatu itu setidaknya perhatian, misalnya sontekan saat ulangan atau ada yang mau membantunya mengerjakan PR. Bukankah lelaki biasanya jarang yang rajin mengerjakan PR? Nah, si cewek yang telah diiming-imingi masa depan yang bakal cerah, yang semula telah menunjukkan atensi luar biasa terhadap pencapaian lelaki tersebut, dalam mata si lelaki kebaikannya terhadapnya dianggap bukan atensi dan cinta. Itu dianggapnya semacam prinsip ekonomi,’Berjuang dengan modal minim berharap untung yang sebesar-besarnya.’
Si lelaki pun menanggapi ilmu ekonomi dengan ilmu politik kepentingan, bahwa tak ada yang dapat mengalahkan kepentingan. Kepentingan adalah segalanya mengalahkan persaudaraan dan persahabatan. Maka, trik si wanita yang bermanis-manis kepadanya setelah mengetahui bahwa dirinya calon konglomerat pun tidak disia-siakan alias segera dimanfaatkan. Pemanfaatan berpijak kepada pepatah Melayu, “Sambil menyelam minum air”. Sambil memanfaatkan kepentingan si gadis terhadapnya, ia pun bisa memanasi pacarnya yang tengah berkonflik dengannya.
Si wanita temanku itu pun marah. Ia tidak suka diduakan. Ia tidak suka dibanding-bandingkan. Lelaki itu pun hanya tertawa geli menanggapi emosinya.
“Kapan aku menduakan Kamu? Bukankah aku telah mengatakan, sudah punya pacar?” kilahnya kalem di tepi kolam yang penuh ikan. Mereka duduk berdua saling merapat sambil melihat air kolam yang berpendar-pendar tertimpa sang surya pukul tiga sore hari.
Si wanita tidak dapat segera menyanggah. Ia hanya diam mencari-cari kalimat pembenaran, tapi ia tidak menemukannya. Ia gelisah karena tiba-tiba diposisikan sebagai seseorang yang dipersalahkan. Hatinya pun menyimpan dendam. Apa yang dilakukannya kemudian? Ia pun mengompori aku untuk merebut lelaki itu dari pacarnya.
“Pacarnya lebih tua,”katanya kepadaku dengan menggebu, dengan berapi-api.
“Memang mengapa kalau tua? Sudah nenek-nenekkah?” tanyaku santai saat itu. Sungguh, saat itu aku masih berstatus sebagai mahasiswa. Aku masih idealis sebagai remaja level tertinggi di sebuah menara yang seolah tak akan kenal duka.
“Belum sih. Tapi kan lebih tua. Aku kesal ketika ia memuji pacarnya. Semakin ingin lepas dariku, semakin tinggi ia memujinya, seolah ia lelaki yang sanggup setia.”
“Lho, bukankah ia telah menunjukkan ciri sebagai lelaki tidak setia?”kilahku menggodanya. Sebetulnya aku geli bahkan ingin tertawa terbahak, tapi tidak tega.
“Kapan ia tidak setia?” si wanita temanku itu membalikkan pertanyaan kepadaku dengan ekspresi kebingungan.
“Lho, bukankah ia pacaran denganmu? Itu berarti ia bisa tidak setia, kan?” kilahku masih ingin tertawa kendati kusimpan dalam hati tawaku itu.
“Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia mengatakan sudah punya pacar.”