2.
Akhirnya saat yang kami tunggu pun tibalah. Skenario yang kubuat bersama Zoya dan Karta berjalan lancar. Aku memperoleh pekerjaan yang menyenangkan dengan gaji yang membanggakan. Dendamku kepadanya tidak hilang tentu saja. Maka, ulahnya yang selama ini memancing-mancingku, kutiru. Aku pun memancing-mancingnya dengan segala kemewahan yang kupunya sebagai seorang pekerja baru di perusahaan bergengsi bergaji tinggi. Kukira semua orang akan mengikuti dalam arti melihat ulahku yang berbalik memancingnya sambil mendeteksi, apakah dirinya tergolong lelaki matre?
Selain memancing-mancingnya agar memburuku seperti harapanku dulu, aku pun memamerkan foto berdua dengan pacarku. Pacar pemberian Karta karena Kartalah yang membantu Zoya mengatur skenario ini. Aku berfoto mesra dengan lelaki tampan itu, sambil menunggu reaksinya.
“Ternyata ia tetap masa bodoh dan tak acuh, Zoy,”kataku kepada Zoya melalui telepon.
“Harapmu ia harus bagaimana?”tanya Karta yang selalu kami ajak bergabung ketika pembahasan mengarah kepadanya.
“Aku kan sudah bekerja di perusahaan bergengsi. Aku tentu saja ingin dirinyalah yang berbalik memburuku.”
“Kalau misalnya ia memburumu, maukah Dirimu?”tanya Zoya.
“Bagaimana seharusnya?”kukembalikan pertanyaan Zoya kepadanya, barangkali tersimpan kecemburuan. Akan tetapi, ia dapat menebak isi hatiku.
“Kaukira aku akan cemburu?” ia pun bertanya menatapku.
“Barangkali masih ada cinta di hatimu,”jawabku datar.
“Aku memang pernah mencintainya, sekaligus melakukan kesalahan yang memalukan.”
“Mengapa?” tukasku meskipun aku sudah dapat menebak jawabannya.
“Tentu saja karena ia mengaku telah memiliki pacar, tapi aku merangsek maju. Demi apa, coba?”
“Demi prestasinya kan?” sahut Karta.
“Tentulah dan salahkah?” sahut Zoya.
“Tidak salah asalkan ia tidak mengatakan punya pacar. Tapi ia mengatakan punya pacar, Kamu tak peduli seolah tak ada wanita lain sehebat Kamu,”sahut karta,”Begitulah kesan yang kami tangkap,”lanjutnya.
“Padahal kalaupun ingin punya pacar, kan ada aku.”
“Tapi prestasimu nggak sehebat aku sih, kalau boleh jujur dan jangan marah,” jawab Zoya. Karta tertawa.
“Nggak penting marah untuk kejujuranmu dalam hal ini. Aku pun mengerti, kalau saja ia nggak mengatakan telah punya pacar, ulahmu bukan kesalahan.”
“Karena aku tetap merangsek maju itukah?” tanya Zoya.
“Sadar nggak sih?” tanya Karta sambil tersenyum-senyum.
“Semula enggak sih.”
“Berapa lama baru sadar?” desak Karta.
“Setelah terkesan ia masih mencintai pacarnya.”
“Lalu Kamu merasa salah langkah? Merasa telah tidak amanah? Ada orang curhat bukannya menengahi, malah memasuki kehidupan mereka untuk menangguk keuntungan? Dasar kapal keruk.”
“Namanya juga tengah berkonflik.”
“Lalu Kauharapkan mereka putus, gitu?”
“Kan ada aku?”
“Kamu yang merasa lebih hebat, gitu?” desak Karta.
“Kalau misalnya iya, salahkah?”
“Tapi bukan dengan cara menangguk di air keruh.”
“Tapi aku tertarik kepadanya.”
“Sampai sekarang?” tanya Nurita sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Hm… tidak sih, setelah menganggap Dirinya mempermainkan aku.”
“Kukira ia tidak mempermainkan Kamu. Keserakahan Kamu dan perasaan merasa superiorlah yang membuatmu terperangkap permainannya.”