Bab 3
Lelaki itu masih termenung di kafe. Ia memang tidak datang sendirian ke kafe itu. Ia bersama seorang wanita. Ia masih duduk termenung menikmati setiap kepulan asap rokoknya, meskipun ia tidak selalu merokok terutama ketika bersama wanita yang mengajaknya ke kafe tersebut. Akan tetapi, di ujung senja yang akan segera beranjak menuju malam saat itu, ia masih duduk bahkan merokok seolah sedang galau memikirkan sesuatu.
Bagaimanapun, ia tidak ingin dianggap player maupun sengaja mempermainkan wanita. Setiap melakukan pendekatan terhadap wanita, entah si wanita yang mendekati aku lebih dahulu atau akulah yang memberikan kode-kode untuk mendekat, aku selalu jujur. Aku jujur bahwa ada wanita lain di hatiku yang kini lagi berkonflik denganku. Ia memang selalu memperjuangkan aku dengan cara setiap hari mengirimiku DM via Instagram. Bagaimana reaksiku?
Reaksiku itu hakku sepenuhnya. Aku memang memberikan isyarat telah membaca DM dengan kode khusus yang dipahaminya. Yang kulakukan memang masih sebatas itu. Bahwa aku belum bisa melupakan pengkhianatannya, memang betul. Bahwa aku tidak bisa jika dipaksa meniru keputusan musisi Bebi Romeo yang tetap memilih menikahi mantan pacarnya, Meisya Siregar, meskipun sama-sama pernah ditinggal kawin, lalu bercerai, itu urusanku. Alasan Bebi seperti yang kubaca dalam Kompas.com, karena ia menyadari bahwa dirinya keras, tapi Meisyalah satu-satunya yang berani menentang, menegur, dan mengingatkan jika yang dilakukan itu salah. Dengan demikian, ia akhirnya bisa membahas banyak hal dengan mantan pacar yang meninggalkannya kemudian dinikahinya itu. Keduanya bahkan rukun terus sampai kini. Duh, senangnya, aku pun ingin.
Akan tetapi, masalah kami lain. Bahwa aku keras di balik sikap lembutku, itu betul. Masalahnya, ia bukan meninggalkan aku karena itu, meskipun aku telah siap bahwa ia tentunya juga akan seperti Meisya jika kelak kami berjodoh. Ia tentu berani menentang, membantah, dan mengingatkan aku. Hal itu bukan masalah toh kupastikan kami pun bisa berbincang tentang apa saja, saat aku menjatuhkan cintaku kepadanya. Humorisnya yang tidak sok lebih tua dariku pun membuatku suka saat itu.
Apa mau dikata, tiba-tiba ia menikah begitu saja dengan lelaki lain, dengan alasan umurnya lebih tua dariku, karena merasa secara logika ia tidak bisa memiliki anak. Semoga Kamu bahagia dengan yang lebih muda, katanya dari Direct Message yang dikirimkan kepadaku. Lalu, kalau aku ditinggalkan demi aku bahagia, apakah dirinya lebih bahagia? Atau setidaknya sama bahagianya dengan aku? Ternyata tidak. Rumah tangganya yang seumur jagung itu pun mengalami kehancuran. Ibakah aku? Tentu saja. Namun, untuk segera menikahi, aku harus berpikir seribu kali. Bagaimana jika ia menderita gangguan psikologis?
Setidaknya, ada trik politikkah di balik pengundurannya dariku? Bagaimana jika diam-diam ia memang ingin menjalin hubungan dengan mantan-mantannya, entah mantan pacar atau mantan teman, yang tentunya juga mapan secara ekonomi karena usianya pun sudah setua dirinya? Maka, aku tak mau gegabah, tepatnya janganlah dirinya gegabah mengambil keputusan. Bagaimana jika ia menyesal lalu bercerai lagi? Bukan masalah ditinggalkan kukira, karena pasti akan banyak penggantinya. Tapi, harga diri sebagai seseorang yang ditinggalkan ditambah merasa terbuang tanpa kepastian kesalahan, tentu bakal menyulut trauma berkepanjangan, bukan?
Sepanjang perjalanan kami, yang dikatakannya tentang penyebab larinya memang masalah umur. Sebegitu harga matikah umur di negeriku? Entahlah. Yang kutahu hanyalah, beberapa waktu yang lalu, adanya heboh bahkan demo-demo para mahasiswa pun terkait umur. Umur yang telah tercatat dalam undang-undanglah yang dipermasalahkan. Umur yang berkaitan dengan pemilihan capres, cawapres, dan pilkada. Hal yang menyulut pro dan kontra. Hm…saat ini aku belum ingin membahasnya, meskipun kaum lelaki suka ngobrol tentang politik selama berjam-jam sambil menghabiskan sekian batang rokok dan sekian cangkir kopi, adakalanya ditemani pisang goreng dan kacang goreng pula.
Kali ini, aku hanya ingin berfokus terhadap persoalan umur. Umurlah yang membuatnya meninggalkan aku, demi aku bahagia, katanya. Lalu ia menikah asal saja dan aku harus menganggapnya sebagai angin lalu, begitu? Aku memang harus memikirkannya. Aku harus mendeteksi kejujurannya. Maka, setiap mengenal perempuan lain, aku memang menceritakan masalah perpisahan kami. Apa yang kuharapkan dari keterbukaan itu?
Tentu solusi. Bahwa aku masih memendam kecewa, kesal, dan marah merasa ditinggalkan, tentu bisa dimengerti semua orang. Bahkan andaikan aku memosisikan dirinya bagaikan Hayati, dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, itu pun bukan kesalahan. Toh aku juga berhak menuruti egoku, terlebih ego terhadapnya, terhadap motifnya yang tersembunyi. Hayati yang dipulangkan ke Padang oleh Zainuddin meskipun ia masih sangat mencintai wanita yang meninggalkannya demi kepatuhan terhadap adat, itu pun akan dimengerti semua orang. Akan tetapi, aku tidak serta merta melepaskannya. Selain aku masih cinta, aku pun ingin mendeteksi seberapa kejujurannya ketika meninggalkan aku saat itu. Betulkah demi umur?
Jika aku kemudian terlihat dekat dengan beberapa wanita, itu pun masih dapat dimaklumi. Jauh di dalam hatiku tentu bergolak konflik antara cinta dan benci merasa dikhianati. Namun, aku tentu saja tidak membutuhkan validasi dari semua orang. Ini nasibku dan ini jalan hidupku. Seperti pertama kali aku jatuh cinta kepadanya pun tanpa persetujuan orang lain, kedekatanku dengan beberapa wanita sementara ia tengah berjuang untuk meraih hatiku kembali, itu pun tidak kuperlukan validasi dari orang lain. Apabila ada orang lain merasa diuntungkan, merasa menangguk di air keruh, itu di luar kehendakku.
Selain masalah umur, aku menangkap indikasi adanya kecemburuan yang dilegalisasi untuk diperbesar. Demi apa? Bagaimana jika demi agar ia lebih berbahagia, meskipun fakta dari ulahnya yang meninggalkan aku demi umur, bukan kebahagiaan tapi penghancuran? Ulahnya meninggalkan aku, telah membuatnya tertipu 200 jutaan. Pertama, ia yang mengatakan saling tidak cinta hanya simbiosis mutualisme dengan mantan suaminya, lalu bergabung dalam sebuah proyek yang membuatnya rugi 100 jutaan. Selanjutnya, begitu bercerai karena mantan suaminya yang semula mengaku jejaka ternyata duda cerai itu memberinya surat cerai palsu, ia yang sendiri lagi tentu teringat kepadaku. Mengapa? Ia menangkap kesan aku masih mencintainya. Maka, ia yang melihatku telah memiliki ijazah yang potensial bakal memberikan masa depan cerah, tentu malu dianggap matre, kan? Ia pun tertipu ajakan bisnis wanita kenalannya, yang membuat uang bagi hasil pun dilarikan sekitar 100 jutaan pula. Meskipun modal kembali, andaikan ia tidak tergiur iming-iming tersebut, tentu modal tersebut bisa digunakan untuk usaha lain yang bagi hasilnya tidak lenyap karena lebih terpercaya.
Semua karena umur? Karena umur, segegabah itukah perempuan patriarki? Entahlah. Yang kurasakan memang demikian. Aku merasa tidak sekali dipepet perempuan. Kami kaum lelaki yang bernasib sama lalu saling berdiskusi tentang seberapa kuat nafsu birahi perempuan? Libido perempuan? Jika tidak besar dan bergelora, mengapa mereka adakalanya agresif terhadap lelaki? Demi apa? Jika demi nafsu, mengapa mereka seolah menuntut janji dinikahi baru mau saling bermesraan? Jika semata ingin dinikahi, mengapa menunda-nunda permintaan dinikahi sampai si lelaki dianggap mapan? Aneh, kan? Jadi, yang utama itu pemuasan nafsu atau kemapanan? Sementara itu, mereka rela mengulur waktu pernikahan untuk diperlakukan secara sembarangan demi menunggu kemapanan?