4
“Mengapa ia bisnis segala dengan mantannya itu?”tanya wanita sahabatku itu suatu hari, ketika ia berfoto untuk mengikuti media sosialku, demi memancing emosi pacarku tentu.
“Katanya agar ada uang lebihlah. Untuk apa? Selain biar si lelaki lega karena itulah tujuan awalnya menikah dengannya, uang hasil bisnis tersebut untuk dibagi dua kalau mereka bercerai. Mereka kan melakukan simbiosis mutualisme sebagai sesama orang yang memerlukan status. Si perempuan ingin terhindar dari gelar perawan tua, si lelaki ingin pamer telah laku dapat menikahi sarjana PNS kepada mantan isterinya yang terpikat lelaki lain. Ternyata uang untuk bisnis malah amblas ketika kalah tender.”
“Mengapa Dirimu tidak berlagak playing victim dengan mantan pacarmu itu?”tanyaku.
“Untuk apa sok playing victim? Justru aku kesal, kecewa, dan marah kepada diriku sendiri. Segitunya hatiku bisa panas, lalu berlagak pura-pura cinta, pura-pura mau diajak bermesraan padahal jauh di dalam hatiku tidak ikhlas. Itu karena aku meragukan kesungguhannya. Tapi aku tetap masa bodoh dan berharap ia berubah pikiran untuk mau kuajak menikah setelah bermesraan…
Aku pun terbahak. Ia yang merasa omongannya terhenti demi tawaku, akhirnya ikut tertawa.
“Sungguh aku menyesal telah bermesraan dengannya. Kalau saja aku mau mendengarkan intuisiku agar tidak mudah menurutinya, belum tentu ia sejual mahal itu. Toh aku sudah PNS saat itu. Ia malah belum mapan, hanya pamer ijazah doang saat itu. Tapi karena aku tergiring egoku, untuk enggan dan merasa malu karena dilangkahi adikku, padahal Tuhan Pengasih sudah memberiku bekal tahan uji, sebagai PNS. Akhirnya ia sok meremehkanku, sok nggak mau diajak menikah dengan alasan beginilah, begitulah.”
“Tapi alasannya benar kan? Ia tidak mau dibodohi. Itu karena baginya Kamu cantik dan sensual. Banyak lelaki good looking dan tipe saphioseksual mau sama Kamu. Di mana salahnya sih?”
“Salahnya, mengapa ia nyosor aja,”gerutunya dengan wajah bersungut-sungut yang membuatku terbahak.
“Anggap saja pengalaman mengesankan. Lumayan dapat gratisan, nggak bayar pula.”
“Ih,” ia bergidik masih dengan ekspresi kesal.
“Lalu, bagaimana rasanya menyerah mau bermesraan, berciuman dan berpelukan tapi masih meragukan cintanya?” tanyaku.
“Bukan semata meragukan cintanya. Aku selain meragukan cintanya juga menyerah dipeluk dan dicium demi ia berubah pikiran agar mau menikahi aku yang malu dilangkahi adikku. Bayangkan. Setiba di rumah aku keramas dengan kembang setaman. Jijik dan risih terhadap egoku yang sedemikian kuat merajai hatiku saat itu, terpengaruh energi negatifnya yang ingin memesrai anak orang secara gratisan.”
“Hahaha. Itu namanya kamu terjebak permainan politik tingkat tinggi,”tawaku masih berderai,”Lelaki-lelaki patriarkis rata-rata paham, wanita patriarkis berangan-angan bersuami yang pekerjaannya bergengsi, bergaji tinggi. Lalu…
“Lalu apa?”potongnya cepat,
“Kalau yang jelek pun asalkan mau mengaku pekerjaannya bergengsi pasti bisa mencari mangsa, apalagi yang good looking seperti Kamu?”tanyanya melotot ke arahku.
“Mengapa marahnya diarahkan kepadaku sih? Kapan aku mencari mangsa? Bukankah aku selalu mengatakan punya pacar?”
“Pada umumnya, bagaimana reaksi mereka? Dirimu good looking dan pamer ijazah bergengsi, tapi juga mengatakan punya pacar?”desaknya.
“Pada umumnya nggak peduli aku punya pacar atau enggak. Yang nggak mau kan hanya Kamu,”jawabku serius.
“Padahal, andaikan mereka menolak ajakanmu pacaran karena Kamu mengaku punya pacar, tentu ada kekaguman ya? Bisa saja Kamu lalu jatuh cinta dan selanjutnya, memperlakukan pacarmu yang kini telah sendiri, nggak jauh beda dengan Hayati dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk?” ia bertanya sinis.
Aku terdiam agak lama sebelum menjawab,
“Tapi aku belum pernah mengalami penolakan kecuali darimu.”
“Penolakan dengan kalimat yang Kauungkapkan itu,”lanjutku.
“Kalimat yang mana? Kalimat, bahwa aku nggak mau memasuki kehidupan orang yang telah punya pacar? Aku tak ingin berhubungan dengan orang yang belum selesai masa lalunya?”
“Iya. Nggak ada yang mengatakan begitu kecuali Kamu.”
“Kamu sih, pamer ijazah,”sanggahnya.
“Kepadamu, aku juga pamer ijazah. Tapi Kamu bergeming.”
Ia tertawa dengan ekspresi agak mendongak, seolah tengah memamerkan bentuk hidungnya yang runcing. Rambutnya yang tergerai pun segera disanggulnya, menampakkan anak-anak rambut dan bulu lembut di kening serta tengkuknya.
“Aku lainlah. Selain sudah terbebas dari kecemasan dilangkahi adik, aku kan sudah pernah PNS dan sudah bisa mencicil KPR pula. Jadi, hapal dengan strategi politik cantik lelaki-lelaki patriarki. Aku harus waspada terhadap ulah-ulah seperti ulahmu,”jawabnya tanpa perasaan.
“Tapi, aku nggak niat mempermainkan wanita,”sahutku agak kesal juga dengan tuduhannya itu. Ia spontan menatapku,
“Kamu memang mengaku punya pacar. Itu bagus. Kepada pacarmu, Kamu minta diperjuangkan. Kepada perempuan itu Kamu minta diapakan?”
“Terserah Dirinyalah.”
“Pasti mereka minta dinikahi bagi yang cemas dilangkahi adiknya.”