5
“Mengapa juga orang-orang itu menggelar revolusi perilaku segala. Aku nggak yakin deh, mereka ingin membuatnya merasa gila agar tidak menulis, agar tidak berliterasi,”sanggahnya lagi setelah beberapa saat terdiam. Malam kian menuju dini hari. Sementara itu, pengunjung warung kopi tersebut semakin banyak.
“Mereka kan ingin menangguk di air keruh. Kali aja bisa mengakalinya. Bukankah asetnya banyak? Ia pun PNS yang memiliki pensiun. Tentu banyak yang ingin memerasnya, ingin memanfaatkannya.”
“Hm…sebegitu tidak aman dunia baginya,”keluhnya.
“Sebaiknya ia memang segera pindah dari situasi tidak nyaman tersebut.”
“Bagaimana kesanmu dengan persahabatan kita?”tanyanya kemudian.
“Nggak apa. Asyik saja, kan? Aku merasa punya teman curhat yang humoris, ceriwis, tapi tidak pelit,”jawabku.
“Aman tidaknya persahabatan memang bergantung si wanita. Jika si wanita tidak baper, tentu aman. Jika baper, lelakinya suka, nggak masalah. Tapi jika lelakinya tidak suka, itu yang bermasalah. Maksudku, sebaiknya persahabatan janganlah saling baper,” lanjutnya kemudian mereguk habis kopinya sambil menutupkan syal yang terjatuh ke lehernya.
Syal berwarna merah, rambutnya yang diwarnai burgundy ditarik ke belakang semuanya tanpa poni, diakhiri dengan sanggul asal saja. Asal dimasukkan ke rambut lainnya berbentuk gelung. Jaketnya berwarna hitam menutupi celana blue jeans selutut, kemudian bersepatu boot berwarna merah. Awal kami kenal pun kurang lebihnya begitu tampilannya. Saat itu jaketnya kulit berwarna krem, jins selutut berwarna merah, sepatu boot juga merah, dengan tas ala backpack yang juga merah. Aku terkejut kedua kalinya mendengar pengakuannya tentang umurnya yang hanya selisih lima tahun lebih muda dengan pacarku. Keduanya kukenal tanpa aku mengetahui berapa umur pastinya semula.
“Apakah dalam kesendirian, pacarmu juga suka ngopi sendirian di kafe sepertu aku?” tanyanya.