Karena Umur

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #6

#6

6

Aku masih berada di kafe tersebut sepeninggal Maya. Kembali terngiang pertanyaannya tadi, tentang pacarku, cemburukah?

“Tidak. Ia biasa saja melihatmu berfofo bareng aku,” jawabku sambil menunjukkan foto-fotonya bersamaku.

“Aura aku bukan aura wanita baper kali,” ia pun tertawa senang.

“Cemburunya mengapa pilih-pilih sih? Berarti bukan tipikal pencemburu tuh,”lanjutnya,

”Padahal kukira ia wanita kuper seperti Hasan dalam novel Atheis. Orang yang nggak paham mengapa ia beragama? Ia hanya ikut-ikutan saja demi mendapatkan validasi bahwa ia orang beragama dengan memamerkan tampilannya dan aktivitasnya yang mendukung egonya, bukan asas kemanfaatannya, bukan pula pamer kasih sayangnya kepada sesama. Hasilnya? Begitu bertemu dengan orang-orang seperti Rusli, orang yang terpengaruh aliran bahwa agama adalah candu, Hasan pun diobok-obok dan dikacaukan mentalnya. Jadinya, ikutan deh.”

“Mengapa agama disebut candu bagi Karl Marx?”tanyaku barangkali dirinya memiliki pemahaman berbeda dariku.

“Candu itu memabukkan, bukan menyelesaikan masalah. Misalnya nih, demi menolak Long Life Education karena malas, lalu pamer merasa tua dan mengajak orang lain yang berumur tua untuk ikutan merasa tua. Itu kan nggak solutif? Padahal, kalau memang nggak suka belajar, kan bisa berdalih beribadah semampunya saja, nggak usah provokatif mengajak orang untuk bermalasan.”

“Tapi May, dalam cerpen Robohnya Surau Kami, si kakek yang juga menerapkan beribadah semampunya, ia hanya maunya bersih-bersih dan menjaga surau, digeprek Ajo Sidi dengan sindiran orang-orang seperti itu kelak akan dimasukkan ke kerak neraka. Jadinya, yang ingin bermalasan tentu mencari-cari dalih pembenaran demi beroleh validasi?” sanggahku.

“Lho, si kakek itu lain. Ia mau menikah atau dinikahkan? Ia sepakat dengan sekitar untuk memiliki anak isteri, tapi ia nggak mau bekerja keras demi menghidupi mereka. Ia merasa aman dan nyaman saja menjadi penjaga surau tanpa memikirkan anak isterinya. Minimal itulah sindiran Ajo Sidi. Kalau ia nggak punya anak isteri, peduli amat mau tiduran di surau sambil menunggu Jumat berkah, untuk bisa makan nasi. Hari-hari lainnya toh bisa makan jambu, ketela pohon, jagung, mangga, sawo, sirsak, papaya, ciplukan maupuan tanaman lainnya yang mudah tumbuh tanpa ditanam di bumi tropis ini.”

“Lalu, bagaimana si Hasan? Terpengaruh menjadi ateis?”tanyaku agar ia melanjutkan ceritanya.

“Tentu saja. Ia pun menyadari, bahwa selama ini ia beragama karena ikut-ikutan saja. Maka, ia pun tidak lagi menunjukkan tampilan sebagai label orang beragama. Bapaknya marah dan ia tidak lagi diakui sebagai anak. Akhirnya, ia tidak merasa cocok juga dengan gaya hidup ateis teman-temannya. Anwar yang sok ateis ternyata suka melirik-lirik isterinya seolah ingin melegalkan gaya hidup bebas dengan isterinya. Ia pun merasa hampa. Sana- sini tidak ada yang membuatnya merasa mantap. Lalu, ia bertemu dengan tokoh sampingan, yang memberikan wawasan bahwa beragama sesungguhnya simpel. Bisakah menerapkan makna “Bismillahirahmannirahim? Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Itu saja, tirulah. Sanggup nggak? Kalaupun nggak sanggup “Maha”, minimal menebarkan kasih sayanglah kepada sesama makhluk, sehingga rahmatanlilalamin nggak semata slogan tapi nyata.”

“Bukankah Hasan sudah demikian?”

“Ia masih tampil agar divalidasi sebagai orang beragama, tapi perilakunya belum menebarkan kasih sayang dan rahmatanlilalamin. Ia belum menyadari mengapa harus beragama? Ia masih ingin dianggap beragama karena enggan dianggap ateis. Bukankah sila pertama dalam Pancasila memang tidak mewadahi kaum ateis? Itulah yang dialami Hasan saat itu. Asalkan bisa tampil tanpa melanggar sila pertama. Begitu bertemu dengan Rusli, Anwar, dan Kartini, keimanannya laksana rumput yang mudah tercerabut. Ia bahkan menikahi Kartini. Akhirnya, ia merasa tidak cocok juga dengan faham itu.”

“Apa pencerahan yang diberikan tokoh utama sampingan?”

“Ya nasihat itu tadi. Jalani hal yang logis-logis dululah, yang dapat terjangkau akal sajalah, agar nggak mudah dikacaukan orang-orang seperti Anwar dan kawan-kawan. Kita diminta mengucapkan “Bismillahirahmanirahim” tentu ada maksudnya, yaitu meneladani sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Tebarkan kasih sayang terhadap sesama di muka bumi ini, sebagai realisasi dari slogan rahmatan lil alamin, bahwa agamanya adalah agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam. Toh ketika kita butuh validasi dari orang lain, Tuhan pun mengatakan mintalah pahala kepada yang memujimu, jangan minta kepada-Ku, jika tujuanmu hanya mencari validasi. Logis, kan?”

“Lalu endingnya Hasan mati, kan? Mati sebagai ateis?”

“Tidak. Begitu ia sekarat, ia teringat bahwa di langit masih ada langit. Ia teringat masa kecilnya mungkin, bahwa ketika ketakutan selalu berteriak,”Emaaak!!!”. Maka, ketika merasa hampir sekarat, ia pun menyebut,’Allahu Akbar’. Maka, matilah ia.”

“Walaupun belum paham untuk apa beragama, selain agar divalidasi sebagai orang yang telah menerapkan sila pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tampil agamis. Ke sana kemari memegang tasbih lalu mengajak orang lain ingat akhirat tanpa paham apa itu akhirat? Tanpa menebarkan kasih sayang terhadap sesama, malah memaki orang lain yang tidak sealiran dengannya, tapi akhir hidupnya baik ya. Husnul Khatimah.”

“Karena pada dasarnya ia orang baik. Ia hanya kurang wawasan karena mainnya kurang jauh. Maka, matinya pun baik. Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang pun menyayanginya. Ia memang dihukum akibat kekurangluasan wawasannya dengan jatuh cinta kepada Kartini yang ateis. Batinnya terluka parah mendapati ulah Anwar yang ingin bermesraan dengan isterinya, padahal semula ia mengagumi jalan pikiran Anwar. Mengapa?”

Lihat selengkapnya