Karena Umur

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #7

#7

7

“Lho! Jangan!” suaranya seolah berteriak. Aku tersentak karena tengah tenggelam ke dalam informasi gawaiku.

“Ada apa, May?”tanyaku sambil mengisyaratkan agar ia kembali duduk. Ia pun duduk sambil mendekatkan botol air mineralnya satu ke arahku dan satu lagi dipegangnya.

“Jangan beri kesempatan kepada mereka yang maunya menangguk di air keruh! Bagaimana jika mereka psikopat dan NPD?”

“Memang ada apa dengan psikopat dan NPD?” tanyaku berlagak tidak paham.

“Mereka itu menurut psikolog, memang ada kelainan kerja otak. Pada umumnya malah orang-orang jenius, sehingga tidak sulit menggalang massa untuk memusuhi mereka yang menolak cintanya, Kek.”

“Ciri khasnya bagaimana?” tanyaku lagi masih tetap menatap gawai.

“Agama memotivasi orang agar empatik, sanggup menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Andaikan aku marah ketika digeprek, orang lain pun marah, bukan? Itu mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri sebagai indikator keimanan. Maka, kaum NPD dan psikopat tentulah kebalikan dari orang-orang empatik, kan?”

“Mengapa mereka tidak bisa berempati?” tanyaku lagi sekadar bertanya toh ia sudah menerangkan sebelumnya.

“Karena otaknya memang error, Bro. Otaknya mengalami gangguan fungsi padahal pada umumnya mereka jenius.”

“Karena itukah, mereka semestinya dihindari?”

“Tentu saja. Untuk apa berurusan dengan orang gila. Ia nggak punya dosa karena memang nggak normal. Justru, andaikan kita terpengaruh provokasinya untuk memusuhi orang lain yang menyulut emosinya, malah kena getahnya.”

“Lagipula ada orang saling cinta bukan malah didekatkan, tapi malah minta waktu untuk menangguk di air keruh. Benar-benar gila,”gerutunya.

“Padahal Tuhan melindungi dan menjaga kita dari amukan kaum NPD dan psikopat lho. Karena mereka tidak bisa menerima penolakan. Maka, wanita pun diminta menjaga tampilan dari orang-orang yang tidak sanggup menundukkan pandangan, dilindungi dari para penggoda. Kamu malah memberi kesempatan kepada kaum psikopat dan NPD untuk menangguk di air keruh,”gerutunya lagi.

“Katamu mereka tidak bisa menerima penolakan? Maka, aku harus bagaimana? Biarlah. Kalau mereka merasa dicuekin tentu lupa juga akhirnya.”

           Kembali lelaki itu duduk sambil menyandarkan punggung di kursi kafe tersebut. Malam semakin mendekati dini hari untuk segera bertukar posisi. Satu dua kucing berseliweran, membuatnya teringat percakapannya dengan para gadis muda.

           “Andaikan Kamu menikah lalu tidak punya anak, apa solusinya?”

           Jawaban mereka pun beragam, tapi tak ada satu pun yang menawari suaminya untuk menikah lagi.

Lihat selengkapnya