Bab 8
“Lagipula, apa yang kita bayangkan, belum tentu terjadi,”lanjutnya.
“Dulu sebelum pindah ke rumah cicilanku, aku tuh sudah membayangkan akan bertanam bunga di sudut kanan taman belakang. Di tengahnya akan kutanami palem botol dan palem merah. Tanahnya kutanami rumput jepang. Di dalam taman tersebut pun akan kutanami aneka mawar dan melati,”ia pun tertawa sebelum melanjutkan ceritanya."
“Ternyata, jangankan bertanam. Baju-baju pun belum semuanya kumasukkan lemari. Setelah dikirimkan ke rumah oleh petugas laundry, baju-baju tersebut tetap kubiarkan bertumpuk terlipat di kamar sebelah yang kosong, berfungsi sebagai gudang. Lemari-lemari masih kosong. Begitu pulang kerja, aku merasa sudah kelelahan dan lebih suka bermain gawai sampai saat tidur untuk kemudian bangun pagi menuju tempat kerja. Begitu selalu sampai sekarang. Hehehe.”
“Selain membuat taman di tanah kosong belakang rumah, aku saat itu pun berencana merenovasi kamar mandi. Aku ingin kamar mandiku berdesain ala pegunungaan. Tembok-temboknya kuganti dengan batu alam, atapnya sebagian dari kaca, ada air terjun dan ada taman kecil di sudut. Ternyata…
“Ternyata bagaimana?”tanyaku.
“Ternyata, uang gajiku kuhabiskan untuk jalan-jalan, kan? Dan kehidupan tetap berjalan tanpa ada masalah. Toh, setiba di rumah aku kelelahan, bahkan bath up pun sangat jarang kugunakan untuk mandi. Tiap mandi aku lebih memilih menggunakan shower karena lebih simpel dan lebih cepat selesai. Kalau mandi pagi harus buru-buru cemas terlambat tiba di kantor. Kalau sore pun buru-buru ingin segera selonjoran dan rebahan untuk segera membuka hp, bahkan menyelesaikan pekerjaan kantor jika ada yang belum kuselesaikan.”
Kembali Maya termenung. Ia hanya memandang ke luar sedangkan di dasar hatinya tengah memikirkan sesuatu. Ulahnya itu membuatnya meneguk air mineralnya beberapa kali sampai habis, sebelum akhirnya berbicara,
“Nggak kebayang deh, betapa pedih dan luka hati pacarmu melihat revolusi perilaku lelaki-lelaki yang dilihatnya ketika ia keluar rumah. Ia merasa dianggap kesepian tanpa sanggup berpikir mengisi waktu luangnya selain di otaknya hanya butuh lelaki dan lelaki. Hm… hidupnya seperti terpenjara. Bayangkan. Ia yang biasanya dalam memberikan penilaian terhadap siswa, menggunakan indikator dan kriteria penilaian, kan? Lalu merasa dipaksa menghadapi penilaian orang lain terhadapnya secara ngawur. Selain merasa terlempar ke zaman purba, ia pun merasa kena karma, kali. Itu saja sih kukira. Anggap saja tengah terkena karma, agar tidak ngeri lagi keluar rumah, sebelum refreshing bahkan pindah tempat tinggal.”
“Karma apa?”tanyaku tak paham maksudnya.