9
Lelaki itu kembali termenung mengenang pendapat-pendapat Maya yang baginya banyak benarnya. Hal-hal yang belum terjadi, tidak perlu dipikirkan sampai membuat kepala menjadi pusing bak gasing. Hal-hal belum terjadi tidak seharusnya dibayangkan dan dicemaskan. Bukankah masa depan masih impian dan belum tentu menjadi kenyataan? Masa depan memang dipersiapkan untuk dihadapi baik buruknya sesuai dengan upaya masa lalu, tapi masa depan bukan untuk dicemaskan. Apa yang akan terjadi kelak, sebaiknya dihadapi dan dicarikan solusinya, bukan dibayangkan lalu malah terjebak ke dalam labirin yang membuat tak sanggup keluar dari perangkapnya.
Ia pun terkenang pacarnya. Betapa lama ia telah memanjakan egonya, demi menuruti rasa dendam merasa ditinggalkan. Sejujurnya, ia semula memang ingin menyakitinya saja, demi memanjakan egonya tentunya. Apa salahnya? Katanya dalam hati. Pancingan-pancingan yang dilontarkan kepada perempuan yang pernah meninggalkannya itu, meskipun dengan alasan umur, tidak berterima bagi sekitarnya. Jika sekitarnya tidak bisa menerima, ia harus bagaimana? Ia mencoba mengikuti jalan pikiran mereka, karena ia cemas jalan pikirannya tidak dapat objektif. Bagaimanapun, ia pernah mencintainya meskipun kini membencinya. Kebencian tersebut ternyata tidak cukup kuat mendepak rasa cinta yang pernah ada. Akhirnya, yang terasakan adalah rasa cinta dan benci teraduk menjadi satu. Betapa sakitnya.
Sementara itu, kaum patriarkis yang terbiasa menyalahkan perempuan dan telah terbiasa mendidik perempuan untuk menjadi wanita materialistis, tentulah mengarahkannya agar tidak percaya kepada alasan wanitanya begitu saja. Mereka pun seolah menghipnotisnya bahwa wanita itu tentulah meninggalkannya karena mengingini kemapanan. Bukankah kemapanan adalah impian semua wanita? Jadi, logiskah meninggalkan lelaki muda yang saat itu belum mapan, dengan alasan karena merasa umurnya jauh lebih tua, padahal fisiknya masih tampak menarik dan sehat-sehat saja? Jujurkah alasan itu? Tidak adakah alasan lainnya?