Karena Umur

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #10

#10

10


           Apabila dilihat dari gaya hidupnya, memang sangat tidak mudah menganggapnya meninggalkannya demi uang. Bukankah gaya hidupnya serba sederhana? Untuk apa pula ia ingin dianggap kaya jika tidak digunakan bergaya hidup? Untuk bersaing dengan siapa? Apakah ingin bersaing dengan saudara-saudaranya? Bukankah dirinya sebatang kara dalam arti tidak ada keluarga, tidak ada anak dan suami. Lalu, untuk apa bersaing dengan saudara-saudaranya? Bukankah mereka ahli warisnya? Aneh juga kalau ia berpikiran menambah aset dan aset demi bersaing dengan ahli warisnya. Itu sama saja dengan dirinya akan memperkaya ahli warisnya. Kata pepatah Jawa, “Nguyahi segara”. Menggarami laut. Upaya yang sia-sia dan tak akan ada manfaatnya.

           Gaya hidupnya sederhana. Kesederhanaan yang dulunya sempat membuatku terpikat. Bukankah hidup memang sesungguhnya sederhana? Apa yang membuat hidup menjadi rumit? Tentulah keinginan untuk pamer. Ya, pamerlah yang membuat orang menjadi pusing, lalu merasa menderita, bahkan playing victim, padahal kepusingan itu dijemput sendiri demi memanjakan rasa pamer yang telah ada.

           Aku pernah bertemu seorang bapak yang bercerita betapa sederhananya kehidupan. Ia mencicil sebuah KPR tipe 21, yang hanya memiliki sebuah kamar tidur. Ia guru honorer dan menikahi wanita sesama guru honorer pula. Mujurlah nasibnya, si wanita tersebut mau diajak menikah tanpa dipameri apapun, misalnya masa depannya kelak bakal cerah karena bla bla bla, tidak juga bisa pamer good looking karena si wanita terpahat lebih cantik daripada  dirinya yang pendek gemuk. Jadilah, kedua guru honorer tersebut menikah. Dari pernikahan itu, mereka dititipi dua anak, lelaki dan perempuan.

           Rumah KPR cicilan pun tetap digunakan dengan sepenuh rasa syukur, meskipun tanpa sanggup menambahi bangunan di halaman belakang yang masih ada sisa. Mengapa? Bukankah kedua anaknya harus sekolah? Rumah satu kamar, bagaimana mereka tidur? Ternyata si anak perempuan tidur di kamar bersama ibunya, sedangkan anak lelakinya tidur dengan bapaknya di ruang tamu. Bagaimana jika kerinduan bermesraan dengan isteri mendera kalbu? Mereka memiliki tempat favorit di dapur maupun di kamar mandi. Tentunya harus berhati-hati agar anaknya tidak mengetahuinya.

           Si lelaki kembali mengepulkan asap rokoknya untuk kesekian kalinya. Bukannya ia tidak suka bekerja keras. Namun, untuk apa kerja keras jika uang itu tujuannya tidak jelas? Untuk wanita-wanita pemburunya semakin menjadi ratu flexing? Jika pamer dengan niat memotivasi orang lain untuk maju, bukan dosa, bagaimana dengan good looking-nya? Ia tampan bak model dengan tubuh peragawan pula. Hal itu masih kurangkah sebagai bahan pamer? Mengapa masih pamer kesanggupannya menjadi mesin ATM? Seolah wanita-wanita tersebut membutuhkan validasi, dirinya memang spek bidadari sehingga dinikahi lelaki tipe peragawan yang rajin cari uang. Kebanggaan itu pun belum cukup sebelum memamerkannya ke media massa. Duh… kalau tidak malu berteriak, lelaki itu tentu berteriak sekerasnya.

           “Tapi, salahkah mereka?” omel Maya.

           “Kamu sih, mendekati mereka dengan cara pamer ijazah. Mereka tidak dapat disalahkan. Salahnya, mungkin, mereka kebaperan. Tapi, kan memang ada lelaki bak model tapi seleranya payah. Kamu tuh, mencintai wanita lebih tua, kan? Bukankah itu selera payah? Salahkah jika wanita-wanita yang kalah good looking darimu pun, kebaperan, merasa bernasib bak puteri dalam dongeng?”

           “Tapi wanita lebih tua tersebut, sensual lho. Nggak pelit pula. Salahkah? Ia pun keibuan.”

           “Tapi akhirnya ia lari darimu, cemas kautinggal selingkuh karena good looking dan kemudaanmu, kan? Ia lari dengan alasan demi umur, kan? Salahkah?” kilah Maya yang membuatnya terkejut.

           “Mengapa hanya Kamu yang percaya alasannya?”

           “Lho, itu alasan benar, kukira.”

           “Padahal ia sensual dan menarik.”

           “Tapi ia merasa tua. Kamu memiliki prestasi dan masa depan cerah. Rawan diburu wanita lain. Lalu, daripada mati berdiri kalau kelak Kausakiti, lebih baik kabuuur. Di mana salahnya?”

           “Padahal aku good looking kata orang. Seharusnya ia bangga bisa mendongkrak validasi bahwa ia memang cantik dan seksi.”

           “Ia nggak butuh validasi. Toh cantik itu selera….

           “Maksudku, mengapa ia tidak percaya, bahwa ia memang sensual meskipun tua, sehingga aku jatuh cinta.”

           “Iya sih, tapi seleramu terhadap wanita, bisa saja tidak konsisten, kan? Berbagai tipe wanita telah Kaupacari mungkin? Sehingga ia tak yakin, sesungguhnya seleramu itu yang bagaimana sih? Yang sensual, yang montok, yang kutilang, atau yang tidak pelit? Nggak jelas banget gitu lho.”

Lihat selengkapnya