Karena Umur

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #12

#12

12

Lelaki itu kembali teringat pacarnya. Ia kembali terkenang kesederhanaannya yang membuatnya berani mencintainya saat itu. Hidup memang sedemikian sederhana, yang menjadikannya ruwet dan ribet memang panasnya kuping juga keinginan untuk memperoleh validasi dari orang lain. Betapa melelahkan. Ia memang merasa suka memanfaatkan waktunya untuk bersibuk dengan aneka hal yang bermanfaat, sehingga ia pun berprestasi. Akan tetapi, bukan berarti ia mau didorong-dorong untuk menjadi mesin ATM.

Ia memang merasakan, betapa banyak yang mengungkapkan ketidaksetujuan ketika dirinya meneruskan hubungan dengan pacarnya itu. Wanita itu memang diakuinya sebagai pacar ketika menjalani kedekatan dengan wanita-wanita lain, meskipun mereka belum pernah menjalani kebersamaan misalnya saling mengungkapkan isi hati sambil berjalan-jalan.

Mengapa mereka tidak setuju? Pada umumnya, adanya ide subsidi silang. Artinya, si wanita yang telah dianggap mapan, jika memang mengingini lelaki muda, kan banyak tuh lelaki muda yang butuh uang. Demikian pula dengan dirinya. Bukankah dirinya lelaki pekerja keras yang sanggup meraih sekian banyak prestasi? Mengapa memilih wanita tua mapan yang tidak selalu mau memotivasinya untuk kerja, kerja, dan kerja? Mengapa tidak memilih wanita manja yang tidak usah bekerja, tapi mau melecutnya untuk selalu kerja, kerja, dan kerja? Persilangan yang indah, bagi mereka yang mata duitan.

Meskipun ia masih kesal dan belum bisa percaya sepenuhnya terhadap ketulusan pacarnya itu, ide subsidi silang seperti paragraf tersebut di atas pun menggoreskan luka yang dalam di hatinya. Ia merasa diarahkan menjadi sapi perah dan mesin ATM semata. Pacarnya pun kesal dan kecewa. Ia tentu saja tidak suka dianggap semata membutuhkan lelaki muda, sedangkan dirinya merasa kutu buku bahkan suka bekerja keras. Mengapa mereka seenaknya saja melontarkan ide gila itu? Hal itu memang di luar kontrol, sehingga tidak perlu memperbesar masalah karena akan sangat melelahka.

Hidup sesungguhnya sederhana. Banyak orang yang menjalaninya tanpa beban. Ada kisah nyata sebuah keluarga yang telah mencicil rumah KPR, tapi tempatnya jauh dari pusat kota, meskipun perjalanan menuju areal tersebut terkesan asri dan tertata rapi. Maka, mereka pun menyewa rumah di pusat kota karena dekat dengan tempat kerja, tempat belanja, tempat kursus bagi anak-anak mereka. Waktu sedemikian berjalan tanpa terasa, anak-anak mereka sudah lulus kuliah, tanpa disadari bahwa rumah tersebut rumah kontrakan, dan tidak ada masalah besar yang melanda dan mendera.

Hidup sesungguhnya sederhana, Maka, betapa mengerikan ulah orang-orang yang sok memanipulasi hatinya seolah tengah jatuh cinta kepada mereka yang beruang maupun yang bakal memiliki masa depan cerah. Sementara itu, serba sederhanalah yang ditampilkan pacarnya dulu, ketika pertama kali mereka bertemu. Hidup sesungguhnya sederhana. Kalaupun kelak ia harus bekerja keras, itu bukan berarti ia berjuang demi memanjakan keinginan wanita yang maunya flexing semata. Maka, betapa kecewanya ketika ia merasa diburu karena ijazahnya, padahal dari fisiknya pun sesungguhnya sudah dapat memberikan pesona.

Keluhan setara pun disampaikan oleh pacarnya. Betapa ia ngeri menyaksikan revolusi perilaku karena ia diberitakan sebagai wanita beruang yang kesepian. Ia sesungguhnya ingin segera lari dari situasi yang serasa menyesakkan napas itu. Kekesalan yang kian memuncak manakala ia dapat merasakan bahwa ketidaksukaan orang terhadap hubungan mereka, bukan karena umur. Toh, hal itu tidak penting bagi mereka. Yang lebih penting adalah ide subsidi silang. Si wanita didekatkan dengan lelaki asal muda. Dirinya pun didekatkan dengan wanita yang manja tidak mau sengsara. Semua itu agar dirinya maupun si wanita pacarnya itu mau bekerja keras. Bahkan ada wanita yang merayunya secara tersirat, bahwa dirinya seharusnya memilih wanita motivator seperti wanita tersebut, yang pastinya akan sanggup memaksanya untuk kerja, kerja, dan kerja.

Adakalanya, ia pun kesal terhadap pacarnya itu, karena tidak memotivasinya untuk bekerja keras. Hal itu dapat dimakluminya karena dirinya yang lebih tua tentunya cemas kehilangan dan ditinggalkannya jika ia bekerja keras. Akan tetapi, memotivasi tetaplah diperlukan. Bukan karena telah yakin bahwa dirinya sesungguhnya bukan tipikal benalu, lalu diam saja tidak memotivasinya untuk bekerja keras, bahkan mengatakan bahwa uang gajinya tentu cukup untuk hidup mereka berdua.

Ungkapan tersebut memang ditulis melalui DM. Amankah? Entahlah, toh dirinya tidak selalu menceritakan hal itu kepada orang lain. Akan tetapi, manakala menyadari semakin banyak lelaki muda yang seolah jual tampang atau mejeng-mejeng di depannya, ia menjadi ngeri.

“Betulkah mengerikan, May? Tidakkah ia malah senang dan bangga, banyak yang masih tertarik kepadanya meskipun tua?”tanyanya kepada Maya saat itu.

“Pertanyaanmu kukembalikan kepadamu. Betulkah Kamu malah ilfil? Bukankah Kamu seharusnya bangga dan senang, ketika ijazahmu itu membuat wanita-wanita memburumu karena merasa menemukan mesin ATM besar banget? Ayolah dijawab. Waktu Anda satu menit dari sekarang,”goda Maya pula dengan cara mengembalikan pertanyaannya.

“Tapi pacarku cemburu kalau aku dekat dengan wanita lain meskipun tidak selalu cemburu. Kepadamu juga tidak,” jawab lelaki itu akhirnya.

“Ia tidak tega Kamu bakal diposisikan sebagai mesin ATM. Ia semula rela mundur demi Kamu bahagia, bukan demi Kamu malah tersiksa dijadikan ATM-lah. Tantu ia menyesal melepaskanmu, padahal demi rela kehilangan Kamu asalkan Kamu bahagia, dirinya rela menderita dan mati secepatnya. Tapi, jika Kamu tidak lebih baik, mengapa tidak dimintanya kembali?”

 

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Lelaki itu teringat Maya yang beberapa jam lalu meninggalkannya untuk pulang. Sebetulnya, siapakah Maya? Ia belum banyak mengetahuinya. Wanita itu tiba-tiba datang dan duduk tepat di depannya, kemudian mengenalkan dirinya dengan nama Maya, ketika membaca huruf D di sebuah kertas di sudut meja entah milik siapa, tiba-tiba ia pun menyebut namaku “Dicky” tanpa bertanya-tanya siapakah namaku yang sesungguhnya? Biarlah, bahkan sampai kini ia pun tidak tahu siapa namaku dan dengan seenaknya memanggilku “Dick.”. Hm…suka-suka dirinyalah.

Ia datang dan menebak diriku seenaknya, sesukanya, dan mengapa ia mengingatkanku kepada seseorang? Ya, tiba-tiba ia mengingatkan aku kepada seseorang karena sangat mirip. Bentuk pipinya yang chubby, bibirnya yang sensual, sorot matanya yang tajam dengan bulatan hitam besar, ujung hidungnya yang runcing, tubuhnya yang seksi karena ia mengenakan t-shir ketat sehingga menampakkan buah dadanya yang besar, satu-satunya anggota tubuhnya yang besar karena lengan, bokong, dan pahanya kecil. Andaikan ada yang mencurigai dadanya itu hasil operasi juga tidak salah. Tapi, bisa saja karena faktor genetika. Bukankah tubuh perempuan berbeda-beda dan semuanya mengundang selera bagi lelaki, bergantung dari titik mana pandangan lelaki itu bermula.

Hm…tapi mana mungkin? Lelaki itu menepis prasangkanya. Tapi, ia tiba-tiba menyanggah prasangkanya yang melintas. Bagaimanapun, ia lebih tua dariku. Sebagai finalis beberapa lomba menulis, apalagi kini banyak aplikasi yang memungkinan manusia memperluas pertemanan, tidak ada hal yang tidak mungkin. Akan tetapi, andaikan kemungkinan itu ada, mengapa aku kecolongan informasi?

Hm… ia kembali menghela napas. Ia sesungguhnya tidak mengenal banyak wanita itu. Ia hanya melihat foto dan videonya tanpa kerudung dari media sosial, karena ia selalu berkerudung jika mengajar. Apakah ia memiliki saudara kembar? Sepertinya tidak, bukankah ia pernah menceritakan jumlah saudaranya via DM? Lalu, siapakah Maya sebenarnya?

 Teka-teki yang memanaskan otaknya, selanjutnya ia pun pasrah kemudian menganggap Maya adalah penyamaran pacarnya dalam versi berbeda. Bukankah Gemini memang memiliki dua sisi? Jadi, dianggapnya Maya adalah pacarnya dalam versi lain, versi nakalnya, versi di luar reputasinya yang selama ini dipertahankannya sebagai guru. Apalagi kini dirinya sudah pensiun. Maka, melakukan penyamaran dengan cara tampil beda dengan kesehariannya untuk bertemu dengannya pun bukan hal yang sulit baginya, jika ia mau. Ia berlatar bahasa dan sastra yang di dalamnya terdapat ilmu tentang teater. Ah…masa bodohlah.

Dalam pertemuan mereka yang ketiga di kafe yang sama, ia tiba-tiba ingin mengajukan pertanyaan kepada Maya, sebegitu pentingkah memiliki rumah ketika menikah?

“Enggak juga, kan banyak rumah, banyak apartemen, dan banyak tempat kos. Mengapa pusing memikirkan membeli rumah. Andaikan mengalami hal demikian? Aku cape berpacu dengan kemacetan di jalan padahal otak lagi dibebani banyak pekerjaan. Aku jadinya lebih suka menyewa tempat tinggal yang tidak jauh dari tempat kerja.”

“Bolehkah main ke rumahmu?”tanyanya lelaki itu suatu ketika. Jawaban maya pun sudah dapat diduga,

“Jangan. Aku nggak selalu di rumah.”

“Kamu di rumah bersama siapa?”

“Sendiri.”

“Mengapa sih nanya-nanya?”sanggahnya. Kebiasaannya yang tanpa disadari adalah spontan memukul jika keheranan atau terkejut.

Lihat selengkapnya