13
Senja itu Maya kembali menjemputku untuk berjalan-jalan ke sebuah mall. Suasana Sabtu sore, mall semakin ramai dengan berbagai acara promosi, pertunjukan musik, serta lalu lalang pengunjung. Ruang atrium sangat luas dengan lantai marmer, langit-langit tinggi berhias lampu-lampu mewah, layar LED berukuran sangat besar pun melingkari atrium utama yang menampilkan berbagai jenis iklan dan animasi dalam sentuhan futuristik.
Maya berjalan tenang di sampingku. Beberapa toko tampak memenuhi mall tersebut dari butik busana, tas, sepatu, sampai gawai terbaru. Ia terus berjalan menuju arena ice skating. Ingin merasakan suasana musim dingin, katanya. Kuikuti saja cara-caranya sambil menebak-nebak suasana hatinya. Apakah ia sudah merasa berbahagia ataukah sesungguhnya jauh di dasar hatinya, terasa hampa? Bagaimana dengan perasaanku? Apakah hatiku akan beralih kepadanya? Ia begitu terkesan jinak-jinak merpati, membuatku sesekali merasa tertantang, meskipun masih sebatas demikian. Bagaimana jika Maya suatu saat pun menjadi kebaperan seperti wanita-wanita lainnya? Tapi, bukankah aku telah mengatakan bahwa diriku memiliki pacar? Maka, hatiku pun menjadi tenang karena sanggup menepis perasaan bersalah. Bagaimanapun, aku tak ingin dianggap mempermainkan hati anak orang.
Maya memang menghubungiku jika ingin mengajakku ke manapun dirinya mau. Aku pun berterus terang telah memiliki pacar. Perbedaannya Maya dengan lainnya, mereka seolah masa bodoh, sedangkan Maya benar-benar menjaga jarak dengan lagak sekadar teman. Semoga selamanya bisa demikian karena tak terlintas di hatiku untuk menghadirkan orang baru dalam hidupku.
Kembali aku teringat kepada seseorang, meskipun saat itu kami tengah berada di sebuah Food Court. Setelah memilih menu yang diminati, Maya pun memesan makanan dan tidak lupa menanyaiku, aku mau menu yang sama ataukah berbeda. Aku mengatakan terserah dirinya sambil menuju tempat duduk kosong agar tidak ditempati orang lain. Sementara itu, Maya berjalan menuju sebuah stan sambil memilih menu yang terpampang di atasnya. Setelah memutuskan memesan menu pilihannya, ia pun berbaris menunggu antrean menuju kasir untuk mencatatkan pesanan serta mengonfirmasikan jumlahnya. Selanjutnya, ia pun membayar semua pesanan tersebut. Struk bukti pembayaran dan nomor pesanan pun dibawanya menuju kursi kosong di depanku sambil membawa sebuah benda yang akan bergetar ketika pesanan sudah siap diambil.
“Biasanya kalau yang antre mengambil makanan dan membayarnya itu ibu-ibu, mereka itu suami isteri. Mereka yang melakukan pedekate, yang antre untuk membayar biasanya lelaki,”godaku. Ia hanya tertawa.
“Kamu keberatan ya, jika kita dianggap suami isteri?” godanya sambil masih tertawa.
“Kamu keberatan nggak?” tanyaku sambil berdiri, kemudian mengambil makanan di stan yang telah dipesan Maya. Makanan yang telah disajikan dalam nampan tersebut pun kuambil kemudian kubawa ke tempat semula.
“Kamu kupilihkan menu yang sama denganku. Salah sendiri mengatakan terserah,”katanya sambil membuka tutup menu di depannya.
“Terserah yang nraktir karena ditraktir juga nggak mau,”jawabku sambil mengikuti cara-caranya.
“Andaikan pacarmu tahu, cemburu nggak ya?” tanya Maya setelah menyelesaikan makannya. Sambil menunggu jawabanku, diambilnya tisu untuk mengelap jemarinya yang terkena sambal.
“Bagaimana menurutmu? Marah nggak ya?” aku mengembalikan pertanyaannya sambil meraih gelas minum untukku.