Karena Umur

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #14

#14

14

           Bayangan Maya kembali melintas. Ia teringat ungkapan-ungkapannya yang mengejutkan, yang membuatnya termenung keheranan didera kekaguman, kekesalan, atau semata keheranan? Tiba-tiba ia mengatakan hal yang mengherankan,

           “Aku pernah tes PNS dan lolos. Begitu bisa melunasi cicilan rumah dan mobil, aku resign.”

           “Sok kebarat-baratan,”godaku,”Mengapa nggak menggunakan kata “keluar” saja sih,”lanjutku. Tapi ia menyanggah.

           “Ini kan menggunakan kata serapan jenis adopsi karena belum ada yang mengubah bentuk tulisan itu dari aslinya. Kita tidak dilarang sih menggunakan kata serapan asalkan bukan untuk sok-sokan. Kata “resign” dari Bahasa Inggris yang artinya “berhenti” itu kan digunakan khusus untuk pekerjaan. Kata “keluar” digunakan secara umum, dari keluar arena, keluar rumah, keluar sangkar. Berbeda kan? Kata resign terdengar lebih spesifik, kan?”

           “Mengapa resign?”tanyaku akhirnya karena keherananku sudah terjawab. Kami masih duduk di batang pohon rebah setelah penjual dan para pembeli es krim telah berlalu dan tinggallah kami berdua. Aku pun duduk di sebelahnya.

           “Aku sendirian. Untuk apa bersusah payah seperti lelaki yang harus menjadi ATM demi anak isteri? Bagiku asalkan bisa hidup, bisa jalan-jalan, dan tidak merepotkan orang lain, cukuplah. Aku cape berpacu dengan waktu dan kemacetan di jalan,”katanya sambil mengambil sebuah bungkus es krim orang lain yang ditinggalkan begitu saja, kemudian membawanya dan memasukkannya ke tempat sampah.

           “Motivasimu kurang kuat,” jawabku.

           “Tentu saja. Aku kan bukan Kamu. Kalau Kamu, cape-cape kuliah ke luar negeri agar bergaji tinggi, untuk siapa, coba?”

           “Untuk menggaet Kamu,”jawabku sekenanya dan ia menjulurkan lidah,

           “Huuu… aku nggak mau. Kamu pacar orang,”jawabnya sambil duduk di sebelahku.

           “Penolakan dengan menjawab ‘Nggak mau, Kamu pacar orang’, bikin marah nggak?” tanyanya menatapku seolah sangat mengharapkan jawaban kejujuran dariku.

           “Memang ada masalah apa?” aku pun bertanya sebelum menjawabnya.

           “Aku pernah merasa kena teror karena jawaban penolakanku dianggap tidak menyenangkan.”

           “Apa jawabanmu?”

           “Kukatakan ‘Nggak cocok’, bahkan ‘Nggak nyambung’. Hehehe.”

           Ia tertawa dan aku pun ikut tertawa. Angin tiba-tiba bertiup menyejukkan tapi juga menerbangkan beberapa daun kering dan sampah diiringi butiran debu. Untuk sesaat kami memalingkan muka dari terpaan benda-benda melayang tersebut.

           “Kukira penolakan tersebut tidak menyakitkan. Namanya juga nggak ada kecocokan,”jawabku,”Tapi May, penolakan yang paling aman memang tidak dipilih karena kalah kaya. Hehehe.”

           “Mengapa?” ia bertanya sambil mengernyitkan kening.

           “Karena tidak kaya banyak temannya, sedangkan kalau mau menjadi kaya masih bisa kalau mau. Jadi yang tidak dipilih bisa tertawa sambil menjawab,’Aku ditolak karena aku miskin’ sambil tertawa dan kepedihan di hati tidak akan menghunjam.”

           “Yang paling menyakitkan ditolak karena apa?”

           “Penolakan yang menganggap kita tidak bermoral.”

           “Contohnya bagaimana?” ia bertanya pula.

           “Kamu dibanding-bandingkan dengan wanita berkerudung. Itu menyakitkan seolah Kamu nggak paham agama.”

           “Kalau aku dibanding-bandingkan dengan wanita lain yang nggak suka keluar malam ke kafe? Padahal aku ke kafe juga sambil kerja, sambil mencari inspirasi karena aku pun menerima job sebagai Ghost Writer?, kesal nggak?”

           “Itu juga nggak menyakitkan sih menurutku. Kamu kesal nggak?” aku pun bertanya kepadanya. Ia menggeleng.

           “Semakin tua, aku semakin bodo amat apa kata orang. Aku kan nggak wajib menyenangkan semua orang, asalkan tidak merepotkan mereka. Maka, setelah merasa bisa hidup cukup dari hobiku, aku pun resign. Aku bekerja freelance sebagai copy writer dan ghost writer.”

           “Mengapa harus fanatis sesuai hobi?”

           “Pekerjaan berbayar yang paling membuat nyaman bukankah dari hobi? Habi pun berkaitan dengan sembilan kecerdasan ala Howard Gardner, kan? Ada cerdas matematis, bahasa, naturalis, spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, eksistensial. Itu sih yang pernah kubaca. Meskipun tidak semuanya, biasanya kecerdasan orang pun lebih dari satu. Ada gabungan kecerdasan matematis dan bahasa, yang menurut Albert Binet disebut jenius. Itu karena bahan tes IQ menggunakan soal-soal bahasa dan matematika.”

           “Tapi jenius saja tanpa kecerdasan emosional, juga tidak menjanjikan masa depan cerah,”sahutku lalu kulanjutkan,”Meskipun masa depan cerah itu ukurannya dari sudut pandang siapa? Dari pengamat atau pelaku?”

Lihat selengkapnya