16
“Ada perbedaankah gaya bermesraan wanita Barat dan Timur?”tanya Maya. Lelaki itu tidak segera menjawab, hanya bertanya,
“Ini memancing atau bertanya?” ia mengajukan pertanyaan sambil memberikan sebatang rokok kepada Maya.
“Lagi nggak harus mikir, maka nggak merokok.” jawabnya menolak.
“Nggak mau rokok? Bagaimana kalau minum bir?” godanya harap-harap cemas. Ia ingin mengetahui reaksi Maya, bahkan andaikan Maya marah lalu menyemburnya pun ia sudah siap.
“Hm…Kamu mengajakku minum alkohol, gitu? Tega banget,” jawab Maya masih meneruskan menulis menggunakan laptop di pangkuannya.
Mereka duduk di sudut kafe di ruang terbuka, sehingga agak aman dari kebisingan. Sudut-sudut tersebut juga digunakan beberapa remaja untuk mengerjakan tugas. Maka, percakapan yang mereka lakukan pun diupayakan tidak keras bahkan nyaris berbisik.
“Baguslah. Adakalanya lelaki kan juga ingin disanggah. Ingin tidak selalu dituruti kemauannya. Bagaimanapun, lelaki juga manusia,”jawabnya. Maya menoleh ke arahnya sekilas.
“Tentulah. Pacarmu kan juga nggak selalu menuruti pendapatmu, kan?”
“Tentu saja. Sedemikian tidak setuju terhadap perselingkuhan, sehingga kecemasan aku berselingkuh, tidak mengajakku berbicara, malah meninggalku. Kesal nggak sih?” jawabnya sambil memasukkan rokok yang ditawarkan kepada Maya, yang ternyata ditolaknya, ke tempatnya semula.
“Karena saat itu Kamu dianggap masih kuper, dianggap mainmu kurang jauh. Nggak tahunya malah sudah mendahuluinya melanglang buana. Hehehe,”jawab Maya tertawa dengan tetap memandang ke arah laptopnya.
“Menulis begini lebih enak kalau ada teman berbicara ya. Ada teman diskusi.” tanya lelaki itu memecah kesunyian.
“Sesungguhnya, iya. Tapi kan nggak mudah. Aku harus memilih teman lelaki yang betul-betul netral dan baik hati, serta tulus bersahabat. Isterinya pun tidak cemburuan karena paham kami semata teman kerja dan percaya bahwa aku bukan perempuan kebaperan dan kegenitan. Atau, lajang punya pacar seperti Kamu. Atau, lajang belum punya pacar, kalaupun aku nggak tertarik kepadanya karena satu dan lain hal, ia bisa mengerti dan menghargai prinsipku. Selebihnya, aku harus berjuang sendiri meskipun berat juga sih. Apalagi menulis ini kan kerja intelektual,” jawab Maya.
“Pacarmu bukankah hobinya sama denganku? Kalau ia mencari teman dengan niat sama denganku, bolehkah?” tanya Maya sambil menoleh kepadanya. Lelaki itu mengepulkan asap rokoknya baru menjawab.
“Ia merasa dalam pantauanku. Jadi langkahnya hati-hati. Toh, ia tahu aku pun ingin dimotivasi dalam mencari uang. Jadi, ulah bekerja keras sepertimu dengan keluar malam sendirian, lalu berteman dengan lelaki demi kesibukannya itu, ia tak akan berani, karena ulah tersebut sama saja dengan melemahkan semangatku, menyulut cemburuku. Bukankah kesalahan fatalnya meninggalkan aku tempo hari, kubalas dengan pamer prestasi, pamer sekian perempuan, waktunya pun kugantung sekian lama?”
“Jadi, kalaupun kini ia bersibuk, itu demi agar tidak diremehkan gebetan-gebetanmu? Ada rezeki, syukurlah. Tidak, juga tidak apa?” tandas Maya.
“Tentulah. Ia kan sudah ada uang pensiun. Akulah yang harus dimotivasi untuk berjuang mencari penghidupan, sesederhana apa pun kelak hasilnya. Jika ia memang mencintaiku, ia tentu mau mengerti. Itu bagiku lebih baik daripada ia harus berjuang sendirian mencari-cari koneksi demi ambisinya, tanpa persetujuanku. Ambisi apa? Jika masih ingin menikah denganku, ia harus mengerti apa mauku. Kuanggap rezeki yang dimiliki kini sudah cukup.”
“Kalaupun ia ingin eksis demi tidak diremehkan gebetan-gebetanmu?”
“Masih dalam batas kewajaran asalkan nggak harus merayu-rayu lelaki lain demi eksistensinya itu. Tujuannya harus jelas, sekadar pengisi waktu, sekadar agar tidak diremehkan orang. Bukan demi bersaing denganku.”
“Hm… iya sih. Tapi ia nggak marah kita berteman kan? Itu karena ia tahu, Kamu sedang mengeksplore potensimu untuk dikembangkan demi masa depan. Kebetulan aku tidak kebaperan, jadi ia bisa tenang dan percaya kepadaku.”
“Tapi, Kamu nggak mau diajak minum bir. Toh niatmu berteman denganku. Mengapa menolak? Jika Kamu berniat kupilih sebagai isteri, Kamu bolehlah menolak, karena menganggap aku pasti menguji. Aku kan tengah mencari calon ibu. Bagaimana mungkin kuizinkan suka minum alkohol? Kalau mau, berarti good bye. Cukup sekian dan terima kasih. Tapi, Kamu kan ingin hanya sebagai temanku selamanya,”kata lelaki itu mengaduk emosi Maya. Marahkah?
“Aku nggak ingin minum alkohol. Kalau Kamu mencari teman wanita yang suka Kauajak minum alkohol, cari sana. Aku nggak mau. Pergi sana,”jawab Maya masih sambil menulis.
“Nih, tulisanku jadi keliru. Aku malah ngetik alkohol nih,”jawabnya tertawa membuatnya pun ikut tertawa geli.
“Bahkan minum alkohol lalu tertidur di pesawat, berdampak buruk bagi kesehatan jantung. Kombinasi alkohol dan tekanan kabin dapat menurunkan kadar oksigen darah dan meningkatkan detak jantung penumpang lho. Kamu kan juga ngerti hal itu. Sejak kapan Kamu minum alkohol dan merokok? Sejak pacarmu itu meninggalkanmu? Pantesan, ia sangat cemas ulahnya bakal menyakiti Kamu lagi. Kamu sih, seolah melakukan percobaan bunuh diri,”lanjut Maya.
“Bukankah ulahnya kabur dariku dulu, juga percobaan bunuh diri?” sahut lelaki itu.
“Sesungguhnya Kamu lelaki yang baik. Tapi, kalau marah, mengapa awet lama dan lama banget? Kalau pacarmu itu nggak menyadari kelakuanmu yang sok-sokan impulsif begitu, tentu ia nggak sabar lalu stress.”