17
“Bagaimana kalau lelaki itu dendam karena ia NPD? Psikopat?”
“Hi…. Semoga jangan ditaksir NPD dan psikopat deh. Ngeri!” Maya pun bergidik kemudian menutup laptopnya.
“Sudah selesai?”
“Belum. Kalapun selesai bagian ini, tentu ada bagian lain yang juga menuntut harus diselesaikan. Berhenti dulu, saatnya makan siang,”jawabnya sambil memasukkan laptop ke dalam backpacker.
Keduanya pun menuju tempat makan untuk memilih menu. Maya di luar pengetahuan lelaki itu, sudah menyelinap menuju kasir ketika ia masih antre menunggu masakan pesanannya. Ketika dilihatnya Maya sudah kembali dari kasir, sebelum Maya mengatakan sesuatu, ia malah ingin menggodanya,
“Senang juga ditraktir terus. Siapa takut,”katanya sambil menyeringai.
“Nggak selalu begitu. Kebetulan saja hari ini aku ingin mentraktir Kamu,”jawab Maya sambil berlagak memasang ekspresi cemberut namun gagal karena tetap terlihat bahwa ia tidak marah.
“Kamu selalu kuajak, Kamu pun pacar orang, dan Kamu tetap baik serta sopan kepadaku. Tidak bolehkah aku berterima kasih?” jawabnya sambil menuju tempat duduk yang telah dipilihnya untuk mereka berdua. Tempat yang tidak jauh dari tempat Maya menulis sebelum mereka menuju tempat makan siang.
***
Tiba-tiba Maya meneleponnya dan sudah meluncur untuk menjemputnya. Ia ingin ditemani untuk mendeskripsikan setting dari feature yang akan ditulisnya. Lelaki itu menggeliat di kamar kosnya. Hidupnya terasa hampa dalam kesendirian, tetapi untuk memutuskan segera berlabuh pun dirinya belum sanggup mengambil keputusan. Ia pun bangkit dari ranjang menuju kamar mandi masih dalam keadaan bermalasan. Sampai kapan aku sanggup bertahan dalam kesendirian? Dalam hatinya terlintas pertanyaan yang tak kunjung dapat dijawabnya.
Akan halnya Maya, ia telah tiba di teras tempat kosnya. Maya menunggunya di teras sambil duduk memandangi tanaman bunga mawar yang bermekaran di taman mungil. Lelaki itu pun membuka pintu tempat kosnya sambil menawari Maya mau minum teh, kopi, atau air mineral kemasan? Dari balik pintu yang terbuka tampaklah dispenser dan kulkas mungil.
“Kopi sudah tadi di rumah. Air kemasan sajalah,”jawabnya sambil menerima air kemasan dari tangan kiri lelaki tersebut karena tangan kanannya tengah mengunci pintu kamar kosnya.
Keduanya pun meluncur menuju tempat tujuan. Dalam perjalanan keduanya masih terdiam seolah terbawa angan masing-masing, sampai akhirnya lelaki itu pun bertanya,
“Apa yang Kaurasakan dalam kesendirian, May?” tanyanya sambil mengemudikan mobil karena dirinya yang mengetahui lokasinya.
“Nggak ada apa-apa. Nggak ada masalah,”jawabnya karena ia teringat keluhan klasik sekian gadis muda yang didekatinya maupun yang mendekat kepadanya,
“Malu, Mas. Kalau mudik selalu ditanya kapan menikah? Lakimu kerja apa? Kamu tentunya bisa kuandalkan untuk itu,” rayu Sana beberapa waktu yang lalu.
“Nggak apa. Pertanyaan wajar itu. Tapi, Sana kan tahu sendiri, aku belum juga menemukan pekerjaan yang sesuai kemauanmu,”jawabnya sambil mengelus bahu gadis itu yang tengah merebahkan kepalanya ke bahunya.
“Janganlah, Mas. Segeralah dicari lagi. Sana kan malu kalau Mas belum bekerja yang sesuai ijazahmu, yang pernah kupamerkan kepada seluruh anggota keluargaku,” gadis itu pun mengangkat kepalanya sambil bercerita dengan ekspresi riang.