Karena Umur

Kinanthi (Nanik W)
Chapter #24

#24

24

Ben tertegun sesaat sambil menatap foto wanita itu. Ia menghela napas. Kamu salah sangka. Sungguh aku tidak membencimu. Aku hanyalah tak ingin ada keterikatan dengan siapapun. Kamu tidak tahu sih, betapa nyaman kebebasan dan kesendirian sebagai lelaki. Orang terlalu melankolis menghadapi masa depan, padahal bagaimana masa depan kita, tak ada yang tahu. 

Seharusnya Kamu paham dan kukira Kamu paham, bahwa aku hanyalah mau dekat dengan mereka yang memang tukang flexing, bukan? Bagiku, itu lebih baik karena mereka tidak memiliki cinta selain cinta kepada gengsinya. Percayalah, mereka akan segera melupakan aku begitu menyadari betapa aku tidak sesuai dengan ekspektasinya dan suasana seperti itu sangat mudah kukondisikan, bukan? 

Aku masih belum sepenuhnya ingin menjalani hidup sebagai lelaki baik meskipun tampilanku seolah orang baik -baik. Kamu seharusnya paham bagaimana mengelabui orang agar dianggap baik. Tapi kamu terlalu keras kepala untuk berpura-pura baik, meskipun hasilnya akan membuatmu dipuja-puja tanpa sengsara. Betapa naif 

Kamu tidak mau berpura-pura menjadi seolah bloon dibalik sikap dan ucapan yang sangat sopan demi menjadi pemenang. Dalam hal ini, bagiku Kamu memang arogan dan sedikit sarkastik yang membuat orang menjadi tidak simpatik.

Aku lelaki patriarki, bukan? Aku harus memanfaatkan privilege ini sebaik-baiknya. Terserah Kamu akan menganggap aku aji mumpung atau apa. Yang penting aku bisa merasa bahagia lebih lama. Akan halnya Kamu menyangkal aku akan bisa bahagia tanpa seizin hati nurani, sedangkan jauh di dasar hati nurani, aku diprotes karena ingin bahagia dengan memanfaatkan privilege, peduli amat. Yang penting aku bisa memamerkan keberuntunganku itu 

Adakalanya aku memang menjengkelkan ya, karena dianggap tega mempermainkan perasaan orang, tapi aku tak sepenuhnya bisa disalahkan karena itulah kemauan mereka dan aku hanya menuruti acara yang seolah bak sedekah ini. Hubungan simbiosis mutualisme ini.

Sampai kapan pun selagi mindset patriarkis belum diubah dan memang tidak bisa secara revolusioner, aku akan tetap nyaman sendiri. Kalaupun tidak sendiri, setidaknya wanita yang kunikahi akan sangat tidak peduli akan ulahku yang akan selalu dan selalu memiliki gebetan karena mereka memang membutuhkannya. Mereka butuh eksistensi diri bahwa diri mereka laku pula dengan cara memamerkan kebersamaan dengan lelaki setampan dan sekeren diriku. Kami saling memberikan keuntungan, bukan? 

Lalu, sanggupkah Dirimu tidak cemburu? Aku yakin Dikau tak akan tahan dan hal itu sangat menyiksa, bukan? Siapa yang rela telah memanjakan dengan beberapa fasilitas tapi diabaikan perasaannya? Dulu aku memang idealis. Ingin memiliki keluarga dan isteriku adalah Kamu. Tapi hidup bersama seorang wanita mengapa menjadi naif tatkala wanita-wanita patriarki masih saja ada yang ingin pamer suami? Salahkah jika aku menjadi iba lalu menuruti permintaan mereka untuk sekadar foto bersama?Dirimu selalu tahu dan itulah yang membuat aku tak suka. Keberatan atau tidak, aku merasa tak nyaman karena merasa telah menggoreskan luka kepada seseorang yang terbukti sangat mencintai aku.

Aku tak ingin emosimu meledak lalu Kautinggalkan aku. Aku lelaki dan dalam hitungan detik tentu telah dapat kucari penggantimu yang jauh lebih cantik pun aku bisa. Tapi dapatkah kuhapus rasa malu telah dikhianati? Itulah yg membuat aku ragu untuk hidup bersamamu. Akan halnya rasa cemburu yang seolah menggerus kalbu serta meremukkan tulang belulang, aku pun tahu hal itu menyakitkan. Kamu telah berkali- kali merasa tulang belulangmu telah remuk karena mencintai aku dan Kamu tak pernah mundur. Justru itulah yang membuatku ngeri kepada karma.

Maka, jika ulahku itu disebut mengakali karma, bolehlah. Yang pasti aku enggan cemburu. Oleh karena itu, kupilih wanita yang sangat sedikit peluangnya untuk membuat aku cemburu karena daya tariknya telah kuminimalisasi. Selain itu, tampilannya pun harus kuatur sedemikian rupa dari ujung rambut sampai ujung kaki agar akulah yang lebih menonjol dalam segala hal, sedangkan dirinya hanya di belakangku.

Kamu pun harus tahu bahwa tradisi patriarki bisa respect pada orang yang mau merendah serendah- rendahnya sehingga tak ada lagi yang tampak di bawahku. Peluang bersama denganmu disadari atau tidak telah menyulut iri beberapa lelaki, kan? Itu karena Kamu tidak menuntut aku mencari uang. Kamu hanya mengatakan agar aku bersibuk mengisi waktu dengan hobi tanpa memikirkan uang. Jika dari hobi itu akan ada uang, disyukuri. Jika tak ada uang pun janganlah disukurin. Hidup hanya sebentar kita tak pernah tahu kapan akan pergi dari dunia ini. Maka, jangan sia- siakan kesempatan dan haruslah bisa mikir realistis.

Tentu saja. Kalau ada calon mertua yang memberi warisan anaknya sekian miliar tapi aku harus berpura-pura bekerja meneruskan usahanya dengan peran sebagai support system anaknya atau direktur utamanya, mengapa tidak? Apalagi jika wanita itu tidak cemburuan karena papinya pun beristeri dua, tampilannya pun aneh sehingga tidak menyulut cemburuku, salahkah aku memilih dia?

Aku tahu bahwa Kamu tak akan marah. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya kepadamu. Entahlah, rasa cinta dan benci kepadamu membuatku seolah puas bisa membuat Kamu merasa seolah kugantung Tapi percayakah Dirimu bahwa aku sejahat itu ? Percayakah Dirimu bahwa ulahku menggantung nasibmu itu sesungguhnya tidak di bawah tekanan? Percayakah Dirimu bahwa revolusi perilaku mejeng-mejeng kepadamu itu tanpa ada motivator? Tentu Kamu tidak percaya, kan?

Lihat selengkapnya