25
“Kukira belum saatnya. Tapi ia keburu mati.” Ben pun tak kuasa menahan air matanya meskipun ia tidak berniat menangis.
“Mengapa menangis? Karena tak ada lagi yang Kauakui sebagai pacar demi bisa kabur dari gebetanmu jika terdeteksi mereka nggak tulus?” desak Maya.
“Tentu saja. Salahkah?”
“Kamu nggak minta izin kepadanya?”
“Untuk apa? Bukankah DM-DM -nya untukku membuktikan hal itu.”
“Lalu, mengapa Kamu masih mencari gebetan?”
“Karena ia pencemburu. Aku nggak suka itu. Lagipula, dendamku kepadanya pun belum hilang, kan? Salahkah?”
“Kamu suka membuat cemburu, tapi tidak suka dibuat cemburu. Lalu Kamu pun mengatur tampilan perempuanmu. Itu yang salah bagiku.”
“Aku nggak mengatur. Mereka sendiri yang tampil sedemikian rupa demi bisa menggeser posisinya dari hatiku. Kamu janganlah sok bloon, May. Sudah tampil bak hantu, mikirnya bloon pula.”
“Tapi Kamu mengatur warna baju, kan?”
“Apa salahnya?”
“Lalu, malam ini aku mengenakan baju serba putih, mengapa Kamu protes? Mengapa mengatai aku tampil seperti hantu? Salahkah?” ia pun tertawa.
“Nggak salah sih. Aku ngeri saja.”
“Mengapa Kamu peka terhadap warna?” tanya Maya lagi.
“Bukan peka terhadap warna saja, kan? Aku juga peka terhadap isi hati, ketulusan cinta wanita, kebencian serta rasa iri dengki manusia terhadap sesamanya, kan?”
“Okelah. Itu memang pembawaan zodiac-mu. Kamu tahu ketulusannya, mengapa malah Kaupermainkan perasaannya?”
“Banyak faktor, kan? selain rasa dendamku, aku pun seolah di bawah tekanan, kan?”
“Kamu sangat cemas dicemburui, tapi Kamu enggan merasakan kecemburuan.”
“Karena cemburu itu sangat sakit pastinya. Maka, aku nggak ingin mencobanya. Hidup sudah ribet, mengapa diperibet dengan cemburu-cemburu pula.”
“Tapi, Kamu menyulut cemburunya.”