Kematian. Kata pada akhir semua cerita kehidupan, belum mati maka belum berakhir kehidupan. Namanya Betari ia seorang model ibu kota yang tetap memilih tinggal di kota Bandung, menurutnya jarak antara kota Bandung dan Jakarta masih bisa dalan tiga jam saja dan dua jam dalam keadaan normal.
Dalam seminggu ia bisa tiga hingga empat kali bolak balik Jakarta – Bandung, untuk menetap di Jakarta tidak pernah menjadi pilihan untuknya. Seusai pemotretan ia akan segera pulang, begitu setiap ia melakukan pemotretan di Jakarta.
Selayaknya model ia memiliki tinggi 173 sentimeter, lekuk tebuh yang indah percampuran Sumatera dan Jawa, memiliki tulang-tulang yang kokoh dan kulit eksotis yang bersinar. Betari memutuskan menjadi model sejak duduk dibangku SMP, lalu ia mengikuti ajang gadis sampul namun sayang hanya menjadi sepuluh besar tidak sampai final. Banyak brand yang telah meliriknya setelah ia mengikuti ajang tersebut dan mulailah karirnya tumbuh pesat.
Jakarta – Bandung yang tidak biasanya, sudah 6 jam namun belum juga sampai, macetnya ibu kota yang memakan waktu dua jam untuk hanya sampai toll lingkar luar disambut kepadatan pada beberapa titik kota satelit, mulai dari Bekasi hingga Purwakarta. Beberapa ruas jalan memang sedang melakukan pengembangan jalan, ada toll melayang ada juga kereta cepat, hal tersebut yang membuat Jakarta – Bandung melebihi perjalanan Jakarta – Tokyo.
Tari begitu nama panggilannya, tak kuasa menahan tubuhnya, ia terlalu lelah untuk menuntaskan harinya dan kembali ke Bandung. Wajah yang memucat dan tak sadarkan diri. Supir dan asisten langsung membawanya ke rumah sakit saat sampai di Bandung, ia pun langsung dilarikan ke IGD, beberapa perawat langsung bergegas menyambutnya. Ayah Tari cepat lebih sampai karena ia masih ada diruangannya, dan ibu segera mendarat seperti melewati lorong waktu.
“Feni, Tari kenapa?” tanya Ayah sambil memeriksa keadaan Tari yang masih belum sadarkan diri di ruang IGD.
“Enggak tahu om, pas di mobil udah sampai Padalarang tiba-tiba pingsan padahal lagi ketawa-ketawa sama saya.” Jawab Feni asisten yang juga menjadi manager Tari.
“Pak Tari kenapa Pak? Sudah lama dia tidak begini.”
Ayah tidak menjawab, namun Feni langsung memberikan penjelasan apa yang terjadi sehingga menyebabkan ia membawanya ke rumah sakit. Dengan penjelasan Feni, ibu semakin merasa enggak karuan ia pun menangis dan mengomel bersamaan. Tentu Feni menjadi sasaran ibu menangis pada bagian bahu dan mengomeli Feni.
Tari pun dibawa ke ruang pemeriksaan, cek laboratorium dan cek lain-lainnya. Sambil menunggu hasil Feni pun berpamitan untuk pulang karena waktu sudah menunjukan pukul dua pagi dengan menggunakan taksi. Ibu bersikeras tidak mau pulang ia akan pulang setelah ia tahu anaknya kenapa dan enggak kenapa-napa, ayah tentu tidak akan pernah pulang selama anaknya berada di rumah sakit.
Para suster yang merupakan bawahannya semasih ia menjadi suater menjadi suster di rumah sakit tersebut menjadi tempat ibu untuk marah-marah sepuasnya. Para suster sudah terbiasa, sangat terbiasa dan suster baru tentunya terkaget-kaget. Suster lain mejelaskan ibu siapa selain istri dari dokter Mardi dengan begitu pada jam-jam berikutnya suster muda mulai terbiasa.
***
Pukul empat pagi Betari terbangun dalam sebuah ruang kamar rumah sakit, ayah mengucap syukur dan ibu pun terbangun. Delapan jam Betari tak sadarkan diri, pingsan paling lama dalam hidupnya, biasanya hanya sepuluh menit hingga dua jam, tentu hal ini menunjukan kondisi yang tak biasa, ada sesuatu lebih rumit dari biasanya. Hasil laboratorium belum keluar sampai saat ini, sebentar lagi mungkin jawab ayah yang sudah bosan dengan pertanyaan ibu yang juga paham kapan hasil laboratorium akan keluar.
“HAHAHA.” Suara tertawa jam empat subuh, dengan tangan di infus, wajah yang pucat dan limgkaran hitam di sekitar mata, Betari benar-benar terbangun setelah sadar. Ayah dan ibu menghampirinya dengan wajah yang kebingungan.
“Kamu kenapa?”
“Kok ibu aneh sih, aku yang harusnya tanya aku kenapa.”
“Aku kaget kenapa ada di ruangan ini lagi, jadi ketawa aja.”
Senyum dan tawa melintang pada wajahnya, ayah dan ibu selalu hafal pada senyum tersebut ia akan kembali terjatuh dan terjatuh. Betari kembali tak sadarkan diri ia tak mampu untuk menahan dirinya, senyum dan tawa memang dia menjadi pemenangnya dan dia masih bertahan sampai saat ini.
Hasil laboratorium pun keluar, seperti biasa dan seperti biasanya Betati harus transfusi darah kembali meminum vitamin-vitamin serta obat-obatan yang mendukung agar ia kembali kokoh. Ayah tidak akan pulang, namun ibu dipaksa pulang bergantian dengan kedua kakak laki-laki Betari untuk menjaganya, sama seperti tahun-tahun lalu.
“Gini lagi.”
“Iya Mas, maafin aku jadi ngerepotin.”
“Kamu enggak pernah ngerepotin, enggak usah terlalu keras masih ada mas dan abang.”
“Makasih.” Peluk Betari pada mas Dio.
“Ini udah labu ke empat kalau bagus labu ke enam kamu boleh pulang.” Betari pun melepaskan pelukan dari kakaknya, mendengar kabar baik kabar paling baik selama berhari-hari di rumah sakit.
“Serius?” Mas Dio tersenyum. Peluk kembali menghantam tubuh Dio.