Bulan masih belum hilang, suara mobil lebih pagi berbunyi dibandingkan suara ayam. Bangun lebih pagi agar rezeki tidak dipacok ayam begitu katanya. Bangun lebih pagi agar tidak terkena macet nyatanya, pergi lebih pagi agar matahari malu karena telah terlampaui. Matahari tidak pernah peduli, tidak pernah takut terlampaui apalagi untuk malu. Ia kan selalu datang tepat waktu dan terbenam pun sama, akan tepat waktu.
Tari sudah berada di kursinya untuk kembali tidur, ritual lambaian tangan pada ayah ibu pun sudah ia lakukan. Ritual berikutnya adalah kembali menutup mata dan membukanya saat berada di tempat meeting hari ini, minimal saat ia mulai terganggu dengan suara berisik Feni yang ikut bersamanya atau suara pak Jojo supirnya yang akan memutar musik keras-keras
Bukan suara musik dari pak Jojo, bukan juga suara Feni yang memekakkan telinga namun suara berisik dari ponselnya. Telepon dari bang Hadi ternyata, ia pun mengangkat telepon tersebut dengan segera.
“Iya Bang makasih, aku udah di jalan nih nanti dikabarin.” Tari dengan segera menutup gagang gawainya, tanpa membuka mata sedikit pun, namun Feni sudah duduk tepat disampingnya.
“Eh Fen lo sejak kapan udah di mobil gue?” Tari masih mengintip di balik matanya, samar-sama Feni terlihat olehnya yang sedang makan tanpa peduli ia sudah terbangun.
“Sejak dua setengah jam lalu!” Jawab Feni sambil memakan nasi uduk yang ia bawa sendiri.
“Kok enggak bilang-bilang?”
“Biasanya juga gitu, lu mau makan?”
“Enggak nanti aja, gue udah makan tadi jam tiga subuh di rumah. Kalau enggak gue enggak boleh pergi dari rumah.”
“ Ya baguslah nanti enggak akan ada cerita pingsan lagi kan. By the way nyokap lu baiknya udah kayak malaikat, tapi kalau udah ngomel horor udah ngalahin kunti.”
“Hahaha.”
“Malam lu pingsan gue udah diomelin kayak apa, tapi perhatiannya kayak apa juga sampai besok-besoknya lagi dia minta maaf dan ngerasa bersalah udah ngomelin gue, udah direpotin sama lu padahal udah kerjaan gue.”
“Maafin gue ya jadi ngerepotin lu dan jadi sasaran nyokap gue.”
“Udah biasa! Hahaha pas ada kontrak gue kasih ke kakak lu bang Hadi, enggak berani gue senggol nyokap lu.”
“Takut dibacok?”
“Iya senggol bacok nanti.”
Sampailah mereka pada sebuah gedung pencakar langit berlantai lima puluh. Tari secepat kilat mengganti pakaiannya, dress mini berwarna merah muda dan blazer hitam menjadi andalannya. Sepatu boot dan makeup tipis dengan cepat langsung menghias wajahnya. Ia melakukan semua sendiri, Feni hanya melakukan perintah apa yang disuruh oleh Tari, mengambil ini dan itu.
“Gue udah oke belum Fen?”
“Udah, lu meeting doang udah kayak mau foto majalah internasional.”
“Harus! Kalau enggak mereka enggak mau pake jasa gue lagi buat foto entar gue enggak punya uang, elu juga.”
“Gue cari model lain.” ucap Feni pada Tari, seketika mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Feni memang menjawab sekenanya sednagkan Tari menjawab sesukanya begitulah mereka bekerja sama lebih dari delapan tahun.
Mereka keluar mobil, supir mengantarnya hingga lobby dan masuklah mereka menaiki lift sampailah pada lantai 32. Sebuah ruangan menghadap ke pusat kota Jakarta dari jendela ruangan tersebut, terlihat jelas menara monas yang menjadi ikon ibu kota. Ruangan tersebut sudah terdapat tiga orang, penyelenggara acara, tukang rias dan penyedia pakaian bersama Tari dan Feni jadilah lima orang.
“Gila nih orang jam delapan pagi sudah sampai sini lagi!” Tepuk tangan dari Mario juru rias yang akan meriasnya nanti. Mario sering satu tim dalam pekerjaan, Tari mengenalmya sudah lebih dari sepuluh tahun jauh sebelum ia mengenal Feni.
“Iya dong kan gue kangen sama elu.” Jawab Tari sambil memeluk erat Mario seolah sudah lama tidak bertemu.
“Udah sebulan lebih gue enggak ketemu lu. Kemarin lu pingsan kenapa?”
“Ditanya kapan kawin melulu hahaha.”
“Terus kapan?”
Pembicaraan tiba-tiba terputus, saat beberapa orang masuk ke dalam ruangan dan meeting pun segera dimulai. Ini adalah meeting paling kikuk yang pernah Tari temui sambil berbisik-bisik pada Feni, begitu juga dengan Feni. Mereka berdua merasa kurang nyaman, Hito pemilik acara memang terkenal kaku, ia tidak pernah berbasa-basi ia pun tak segan untuk menegur saat meeting maupun dalam pekerjaan karena tidak sesuai arah pembicaraan atau mengobrol hal yang tidak ada dalam diskusi. Tari sudah berulang kali bekerja sama dengan Hito namun kekuannya tetap abadi, meeting belum dimulai namun ketegangan bertambah saat seseorang tiba, ia membuka pintu tanpa mengucapkan salam atau pun sapaan dan bahkan tanpa mengetuk pintu.