Perjalanan yang seharusnya tiga jam berubah menjadi lima jam perjalanan, kondisi jalan memang tidak dapat diperkirakan oleh karena itu keputusan Hito untuk menyewa vila adalah tepat. Arifin dan Tari menyadari bahwa mereka sudah tertinggal jauh dari rombongan, mereka kembali pada jalur seharusnya, entah mengapa mobil mereka justru kembali berada di belakang mini bus yang ditumpangi para kru.
“Untung ya kita enggak ketawan cheating makan dulu.”
“Kalau ketawan kenapa?”
“Enggak enak, rasanya enggak profesional, kita kan lagi kerja.”
“Enggak heran kalau kamu sukses kayak sekarang.”
“Kenapa emangnya?”
“Kamu sangat profesional.”
“Kamu lebih sukses, karya kamu sudah mendunia Fin.”
Perubahan sudah percakapan menjadi aku kamu. Arifin tak menanyakannya lagi setelah sempat ia tanyakan, ia membiarkan Tari berbicara senyamannya. Beberapa orang dalam bus tampak sadar mereka sudah ada di belakangnya, melambaikan sambil berteriak walau tak terdengar. Pasti dalam bus ribut gumam Arifin.
“Enak juga pake kata aku sama kamu, semoga kamu udah enggak keberatan ya Fin.”
“Saya enggak pernah keberatan kok, enggak pernah mempermasalahkan juga.”
“Tapi kamu komentar sebelum ini.”
“Cuman nanya aja kok, ingin tahu alasannya.”
“Kalau sekarang mau tahu juga alasannya?”
“Emang ada alasannya?”
“HAHAHA.” Tari tertawa terkakah-kakah, namun raut bingung tak dapat Arifin sembunyikan.
“Kenapa?”
“Enggak ada alasannya, tapi kamu bilang saya kamu kedengarannya lebih nyaman, jadi saya ikutin. Enggak masalah kan?”
“Saya enggak punya hak intelektual untuk melarang kamu, jadi ya terserah kamu.”
Akhirnya mereka sampai pada sebuah vila, vila tersebut langsung menghadap ke laut. Pohon katapang dan waru mendominasi ketimbang pohon kelapa, kata Arifin pantai ini memiliki matahari terbenam paling indah. Pemandangan air laut sejauh mata memandang, melepaskan pandang yang tak berujung, samudra Hindia terbentang di sana. Pantai pasir kecoklatan dengan karang-karang berada pada pinggirnya. Tari setuju pantai ini sangat indah, walau ia belum melihat saat matahari terbenam.
Arifin bercerita pada Tari bahwa ia berkali-kali punya proyek serupa, lokasi yang sama bahkan sebagian besar berlatarkan tempat yang sama, akan tetapi untuk dipasangkan dengan model baru kali ini. Ia pun bercerita walau berkali-kali mendapat pekerjaan yang serupa dan semua yang hampir sama namun setiap gambar yang ia ambil memiliki ruh sendiri, nyawanya.
Berbeda dengan Arifin, Tari pengalamannya pertamanya untuk menjadi model di pantai selatan bagian barat pulau Jawa. Ia pun baru kali ini menjadi pelengkap karena biasanya menjadi objek. Ia selalu menjadi objek setiap pemotretan, menampilkan dirinya, menjadikan dirinya peran utama.
“Karena menjadi model adalah hidupku.”
Jawab Tari saat Arifin bertanya mengapa ia mengambil pekerjaan diluar zona kemampuannya, tanpa Tari bercerita ia sempat menyesal saat tahu Arifin lah yang akan memotret. Ia hampir merobek kontrak kerja yang baru saja ditandatangani.
Deru ombak terdengar dari jauh, parkir mobil berada di balik vila namun suara gemuruh ombak saling bertautan sudah terdengar. Laut tidak sedang marah, hanya saja angin bertiup kencang seolah menyambut. Tari tanpa ragu turun dari mobil Arifin yang sudah mematikan mesin mobilnya, disambut oleh Feni yang baru saja turun dari bus. Mereka saling bersorak seperti sudah tak bertemu berbulan-bulan. Orang-orang tak peduli pada kehebohan Feni dan Tari, lebih heboh saat melihat air laut berada di depan mata.
“Fin thankyou ya.” Ucap Tari sambil berlari, Arifin hanya menganggukan kepalanya. Ia belum turun dari mobilnya, belum juga ikut bergabung melihat air laut. Masih menyaksikan kehebohan Feni dan Tari, ia satu-satunya yang menyaksikan kehebohan tersebut.
Tak lama Hito menyeru untuk berkumpul, lalu melakukan pembagian kunci kamar serta jadwal selanjutnya. Makan siang sudah mereka lakukan saat perjalanan hal tersebut yang menyebabkan mobil Arifin dan bus rombongan bisa kembali bersama. Arifin dan Tari sepakat untuk tidak bercerita pada siapa pun, cheating yang mereka lakukan akan menjadi rahasia mereka.